Friday, February 11, 2011

MEMBAWA DEMOKRASI INDONESIA KE ARAH YANG LEBIH BAIK


             Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah 60 tahun lebih, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!
            Nilai mufakat misalnya, terdapat dalam ajaran berbagai suku bangsa di Indonesia. Berikut beberapa contohnya: Purpar pande dorpi jumadihon tu rapotna (Batak Toba); Poangka-angkataka (Buton); Meunyo ka mupakat, lampoih jeurat ta peugala (Aceh); dan Wasimbataka babwerbrau bata baumda, arema babwatfo (Papua). Ironi kita adalah ketika bangsa Indonesia terbentuk, nilai-nilai adat itu dimarjinalkan. Hal ini salah dalam dua hal. Pertama, kita seakan lupa pada prinsip ekosistem bahwa keragaman merupakan kekuatan, penyeragaman merupakan kelemahan. Kedua, penekanan berlebihan pada “ke-ika-an” sebagai konsekuensi dari praktek pemerintahan yang sentralistis serta pola perekonomian yang dianut. Ketika terjadi perubahan, terutama transformasi sosial yang berjalan cepat sejak reformasi 1998, ketika peran negara melemah diikuti dengan terjangan gelombang globalisasi, rakyat Indonesia mengalami disorientasi yang hebat. Nilai-nilai adat sudah lama dimarjinalkan, sementara nilai nasional yang belum terbentuk secara utuh dicampakkan.


Kesalahan dalam mempraktekkan demokrasi
            Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Lalu, di mana letak kesalahannya? Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.
            Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”.
            Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbih di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.
            Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan partisipative.
            Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dll. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.
            Ada tiga hal yang dapat kita lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik.

Sistem demokrasi yang lebih baik
            Di masa datang, saya menilai prinsip sistem demokrasi, yaitu melalui mekanisme bottom-up disertai transparansi proses politik di tiap tingkatan struktur maupun institusi politik, dan menghindari pemusatan kekuasaan melalui penciptaan mekanisme checks and balances di tiap struktur dan institusi tersebut. Prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi harus menjiwai proses politik di tiap elemen instrumen politik. Lima hal berikut mungkin dapat dipertimbangkan sebagai rujukan untuk merumuskan sistem demokrasi yang kita perlukan di masa depan.
            Pertama, menjalankan program good citizen. Demokrasi tidak akan jalan apabila akarnya (citizen) tidak memiliki ruang toleransi yang memadai, tidak mampu bersikap rasional, dan gagal menyeimbangkan hak dan kewajiban politiknya. Kedua, menyadarkan para elit bahwa demokrasi menyediakan prosedur yang memungkinkan dibangunnya kontrak sosial antara elit dengan masyarakat. Demokrasi memungkinkan rakyat mewarnai aktivitas politik sebagai public service, sehingga mimpi para elit bahwa politik hanyalah media untuk meraih kekuasaan semata dapat dibangunkan.
            Ketiga, menguatkan sistem bikameral dengan menegaskan fungsi DPD. Alternatif yang bisa digalakkan adalah dengan memberi “hak veto” bagi DPD sebagai satu institusi, atau bagi tiap anggota DPD. Keempat, menata ulang reformasi politik di bidang state institution seperti reformasi birokrasi, dan juga di bidang societal institution seperti partai politik. Dan kelima, menciptakan situasi yang kondusif bagi penguatan civil society. Bila kelima hal ini bisa dilaksanakan secara efektif, maka proses mekanisme politik yang bottom-up tadi, akan mulai menggeser paradigma “Republik Kerajaan” yang sudah puluhan tahun melekat dalam memori para elit yang melestarikan pola pikir sentralistis.























Wednesday, February 9, 2011

Quo Vadis Gerakan Feminisme di Indonesia


 Kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Secara sederhana, paling tidak ada 4 aliran feminisme yang berkembang di dunia. Kita akan bahasa satu persatu.
Feminisme Liberal
Adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum liberal feminis, status perempuan di dalam sebuah negara hanya sebatas warga Negara saja, bukannya sebagai pembuat kebijakan, bahkan pengambil keputusan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Dalam perkembangan berikutnya pun, pandangan dari kaum feminist liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Seperti contoh, budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk bertukar dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari kepemilikan. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat, yaitu borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang, maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminisme di Indonesia
Wardah Hafiz melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan "tukang bakar BH", "anti lelaki", "perusak keluarga", "tidak mau punya anak" dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan femenisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodalis, dan pastinya patriarkis.
Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah di atas sebagai kekeliruan memaknai feminisme.
            Secara khusus sebagai contoh saja, mengingat kita berada dalam lingkup kampus, bila kekeliruan memaknai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Hal ini ditenggarai semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengatasnamakan perempuan-perempuan kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai "ayam kampus" sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas.
Terkait dengan persoalan feminisme ini, mahasiswa khususnya mahasiswi, yang pastinya diklaim juga sebagai agent of change, harusnya dapat menjadi gerbong lokomotif bangsa yang mendorong masyarakat pada sebuah kesadaran bahwa perannya sebagai bagian dari entitas masyarakat berpendidikan merupakan amanah dan tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas fungsional, layaknya pria. Terbukti setelah Orde Baru dan di era reformasi sekarang ini, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak perempuan semakin meningkat dan terus berkembang, tidak saja bidang sosial, budaya dan politik, akan tetapi juga dalam bidang agama.
Sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Tetapi permasalahan yang justru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan perempuan, akan tetapi perempuan an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya?
Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas perempuan yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki.
Yang perlu menjadi perhatian kalangan pria, bahwa pada dasarnya perempuan Indonesia juga mempunyai beragam ideologi, agama, ras, suku, kelas sosial dan memiliki rasa kebersamaan untuk mensukseskan pembangunan sebagai cita-cita nasional. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana pria-perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogianya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi secara equal.
Sensitivitas gender dan altruisme merupakan strategi yang jelas dalam upaya peningkatan citra dan status perempuan. Namun yang perlu disadari oleh perempuan khususnya, bagaimana bisa mengadopsi seoptimal mungkin segala potensi serta terlepas dari kendala struktural, nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriakhi. Sementara mayoritas perempuan yang lain, justru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari "penjara" rumah tangga untuk bersikap lebih "jantan". Alih-alih, pemahaman tentang peran dan tanggung jawab diri terhadap lingkungan sosialnya dimanifestasikan dengan citra-citra yang melampui pemahaman tentang kesadaran feminisme dan cenderung lebih "beringas" dari laki-laki.
Dengan kata lain, tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, dan ketika sikap permisif laki-laki terhadap peran perempuan di luar rumah tidak bisa diabaikan, maka pada saat yang sama muncullah sebuah "budaya tandingan" yang disebut "psikologi terbalik" atau dalam istilah sosiologi biasa disebut "ledakan sosial."
Perempuan, lebih-lebih di Indonesia, mengalami kejutan-kejutan impulsif atas berbagai dinamika peran emansipatif di saat krannya dibuka secara lebar, sehingga cenderung membludakkan "air segar" feminisme yang begitu deras ke arah-arah yang lebih vulgar dan melanggar tabu-tabu sosial yang seharusnya dipertahankan. Ledakan-ledakan itu bisa saja memunculkan berbagai serpihan-serpihan psikologis perempuan, bahkan dalam bentuk pembalikan yang paling kontras (negatif).
Memang kita sebagai intelektual, setidaknya intelektual kampus, seyogyanya tidak melihat persoalan feminisme sebatas pada peran dan perjuangan akan hak-hak perempuan secara adil, lebih-lebih, dengan memahami bahwa feminisme adalah sebuah persoalan yang multidimensional. Setiap sisi-sisi perempuan berpengaruh terhadap semua kehidupan sosial. Perempuan sebagai manusia, mengambil bagian dalam setiap produk kemanusiaan.

Penutup
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun diluar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereo tipe, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Secara keseluruhan, agenda dan tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut dikawal dan diapresiasikan karena dapat mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa talenta dan kemampuan yang dimiliki wanita sering adakalanya melampaui kapasitas pria. Namun, feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk mensejajarkan posisi dua gender tersebut dalam rangka pemenuhan esensi demokrasi dan cita-cita pembangunan negara, tanpa adanya beberapa pihak yang mengambil keuntungan dari perjuangan kaum hawa di nusantara tercinta.
Tetapi, bagaimanapun kita masih melihat bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat kita, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?


KORUPSI DI BIROKRAT


Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya, masyarakat harus membayar mahal pelayanan publik yang buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil, harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.
Pada rezim yang memiliki otoritas kuat, pemberantasan korupsi secara konvensional, seperti perbaikan pengawasan melalui institusi negara, terbukti sudah tidak efektif lagi. Pada akhirnya rakyat tetap saja menjadi korban. Apalagi saat ini sudah terbangun mitos di masyarakat korupsi hampir mustahil dibasmi. Korupsi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, penguasa, dan kroni, sementara yang memikul akibatnya seluruh rakyat. 

Upaya Memerangi Korupsi
Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya, memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekua-saan publik, harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.
Celakanya, saat ini ada kecenderungan dari masyarakat semakin "menuhankan" materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Kedudukan pejabat seperti itu malah mendapat tempat cukup tinggi di masyarakat, diidolakan dan dirubung. Pejabat yang royal berderma, dianggap seseorang yang tinggi ahlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.
Dalam kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan kalau seorang pejabat itu miskin, dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasmi.
Kondisi sama terjadi pula di tubuh para pengusaha, untuk me-ngakhiri patronasi politik dalam bisnisnya harus dimulai dari organisasi profesi dan asosiasi. Itu bisa dilakukan dengan meningkatkan standar etika di kalangan mereka. Salah satunya harus ada kesadaran, tran-saksi bisnis kolutif dan mengabaikan hukum akan merugi-kan kepentingan jangka panjang bisnis mereka. Akibatnya bisa melahirkan biaya tinggi yang membebani konsumen, menekan upah buruh, menciptakan persaingan tidak sehat, dan merusak sumber daya alam.

Mandul
Perlu juga disoroti kemandulan fungsi kontrol lembaga legislatif, yang tidak bisa dilepaskan dari sosok para anggota dewan sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terjun ke dunia politik dengan tujuan mendekatkan atau memiliki akses ke sumber eko-nomi atau melindungi kepentingan bisnisnya. Buktinya, tidak sedikit pejabat dan anggota DPR menjadi kontraktor pengadaan publik atau proyek pembangunan yang dibiayai pemerintah. Dan parahnya lagi para wakil rakyat kita itu sering bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memuluskan keinginan mereka itu. Itu merupakan suatu bukti bahwa korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke tingkat-tingkat daerah. Satu contoh kasus adalah kasus Andi Mustaqim, staf salah satu anggota DPR, yang diduga kuat menjadi perantara proyek-proyek pemerintah di beberapa daerah.
Begitu pula dengan pemilihan calon legislatif, mutlak jadi kewenangan orang kuat dalam parpol pusat maupun daerah. Tidak sedikit mereka yang berhasil duduk di DPR ini dicukongi pengusaha atau bahkan mereka juga adalah pengusaha, sehingga lazim disebut “pejabatusaha”. Terkadang mereka memanfaatkan jabatan mereka sebagai anggota dewan untuk menyertakan perusahaan-perusahaan mereka dalam proyek-proyek pemerintah.
Di bidang yudikatif juga begitu. Mahkamah Agung yang memiliki wewenang yudikasi tertinggi malah sedang terkena kasus jual beli perkara yang melibatkan semua elemen MA, mulai dari tukang parkir sampai ketua MA-nya sendiri, yang sedang diperiksa KPK menyangkut masalah korupsi pengusaha Probosutedjo. Saya menyambut baik dibentuknya Komisi Yudisial, yang diketuai Busyro Muqoddas, untuk memeriksa hakim-hakim yang diduga melakukan penyelewengan-penyelewengan serta membersihkan internal MA dari unprofessional conduct para hakim.
Memberantas korupsi sangat sulit, salah satu cara menekannya yaitu melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Hanya saja perlu diingat, gerakan antikorupsi haruslah merupakan gerakan sosial. Tolok ukur paling penting, yaitu seberapa jauh korupsi berkaitan dengan kepentingan umum dan merugikan keuangan negara. Pasalnya tidak mungkin bisa menyelesaikan semua kasus korupsi dan sangat membingungkan karena begitu banyaknya kasus. Semoga saja seluruh elemen pemerintahan, tidak hanya KPK, dapat terus memerangi korupsi sesuai dengan instruksi Presiden di awal-awal pemerintahannya.







Friday, February 11, 2011

MEMBAWA DEMOKRASI INDONESIA KE ARAH YANG LEBIH BAIK


             Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah 60 tahun lebih, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!
            Nilai mufakat misalnya, terdapat dalam ajaran berbagai suku bangsa di Indonesia. Berikut beberapa contohnya: Purpar pande dorpi jumadihon tu rapotna (Batak Toba); Poangka-angkataka (Buton); Meunyo ka mupakat, lampoih jeurat ta peugala (Aceh); dan Wasimbataka babwerbrau bata baumda, arema babwatfo (Papua). Ironi kita adalah ketika bangsa Indonesia terbentuk, nilai-nilai adat itu dimarjinalkan. Hal ini salah dalam dua hal. Pertama, kita seakan lupa pada prinsip ekosistem bahwa keragaman merupakan kekuatan, penyeragaman merupakan kelemahan. Kedua, penekanan berlebihan pada “ke-ika-an” sebagai konsekuensi dari praktek pemerintahan yang sentralistis serta pola perekonomian yang dianut. Ketika terjadi perubahan, terutama transformasi sosial yang berjalan cepat sejak reformasi 1998, ketika peran negara melemah diikuti dengan terjangan gelombang globalisasi, rakyat Indonesia mengalami disorientasi yang hebat. Nilai-nilai adat sudah lama dimarjinalkan, sementara nilai nasional yang belum terbentuk secara utuh dicampakkan.


Kesalahan dalam mempraktekkan demokrasi
            Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Lalu, di mana letak kesalahannya? Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.
            Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”.
            Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbih di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.
            Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan partisipative.
            Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dll. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.
            Ada tiga hal yang dapat kita lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik.

Sistem demokrasi yang lebih baik
            Di masa datang, saya menilai prinsip sistem demokrasi, yaitu melalui mekanisme bottom-up disertai transparansi proses politik di tiap tingkatan struktur maupun institusi politik, dan menghindari pemusatan kekuasaan melalui penciptaan mekanisme checks and balances di tiap struktur dan institusi tersebut. Prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi harus menjiwai proses politik di tiap elemen instrumen politik. Lima hal berikut mungkin dapat dipertimbangkan sebagai rujukan untuk merumuskan sistem demokrasi yang kita perlukan di masa depan.
            Pertama, menjalankan program good citizen. Demokrasi tidak akan jalan apabila akarnya (citizen) tidak memiliki ruang toleransi yang memadai, tidak mampu bersikap rasional, dan gagal menyeimbangkan hak dan kewajiban politiknya. Kedua, menyadarkan para elit bahwa demokrasi menyediakan prosedur yang memungkinkan dibangunnya kontrak sosial antara elit dengan masyarakat. Demokrasi memungkinkan rakyat mewarnai aktivitas politik sebagai public service, sehingga mimpi para elit bahwa politik hanyalah media untuk meraih kekuasaan semata dapat dibangunkan.
            Ketiga, menguatkan sistem bikameral dengan menegaskan fungsi DPD. Alternatif yang bisa digalakkan adalah dengan memberi “hak veto” bagi DPD sebagai satu institusi, atau bagi tiap anggota DPD. Keempat, menata ulang reformasi politik di bidang state institution seperti reformasi birokrasi, dan juga di bidang societal institution seperti partai politik. Dan kelima, menciptakan situasi yang kondusif bagi penguatan civil society. Bila kelima hal ini bisa dilaksanakan secara efektif, maka proses mekanisme politik yang bottom-up tadi, akan mulai menggeser paradigma “Republik Kerajaan” yang sudah puluhan tahun melekat dalam memori para elit yang melestarikan pola pikir sentralistis.























Wednesday, February 9, 2011

Quo Vadis Gerakan Feminisme di Indonesia


 Kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Secara sederhana, paling tidak ada 4 aliran feminisme yang berkembang di dunia. Kita akan bahasa satu persatu.
Feminisme Liberal
Adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum liberal feminis, status perempuan di dalam sebuah negara hanya sebatas warga Negara saja, bukannya sebagai pembuat kebijakan, bahkan pengambil keputusan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Dalam perkembangan berikutnya pun, pandangan dari kaum feminist liberal mengenai kesetaraan setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Seperti contoh, budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berperspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk bertukar dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari kepemilikan. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat, yaitu borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang, maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminisme di Indonesia
Wardah Hafiz melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan "tukang bakar BH", "anti lelaki", "perusak keluarga", "tidak mau punya anak" dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan femenisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodalis, dan pastinya patriarkis.
Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah di atas sebagai kekeliruan memaknai feminisme.
            Secara khusus sebagai contoh saja, mengingat kita berada dalam lingkup kampus, bila kekeliruan memaknai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Hal ini ditenggarai semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengatasnamakan perempuan-perempuan kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai "ayam kampus" sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas.
Terkait dengan persoalan feminisme ini, mahasiswa khususnya mahasiswi, yang pastinya diklaim juga sebagai agent of change, harusnya dapat menjadi gerbong lokomotif bangsa yang mendorong masyarakat pada sebuah kesadaran bahwa perannya sebagai bagian dari entitas masyarakat berpendidikan merupakan amanah dan tanggung jawab moral untuk ikut terlibat dalam berbagai aktivitas fungsional, layaknya pria. Terbukti setelah Orde Baru dan di era reformasi sekarang ini, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak perempuan semakin meningkat dan terus berkembang, tidak saja bidang sosial, budaya dan politik, akan tetapi juga dalam bidang agama.
Sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Tetapi permasalahan yang justru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan perempuan, akan tetapi perempuan an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya?
Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas perempuan yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki.
Yang perlu menjadi perhatian kalangan pria, bahwa pada dasarnya perempuan Indonesia juga mempunyai beragam ideologi, agama, ras, suku, kelas sosial dan memiliki rasa kebersamaan untuk mensukseskan pembangunan sebagai cita-cita nasional. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana pria-perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogianya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi secara equal.
Sensitivitas gender dan altruisme merupakan strategi yang jelas dalam upaya peningkatan citra dan status perempuan. Namun yang perlu disadari oleh perempuan khususnya, bagaimana bisa mengadopsi seoptimal mungkin segala potensi serta terlepas dari kendala struktural, nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriakhi. Sementara mayoritas perempuan yang lain, justru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari "penjara" rumah tangga untuk bersikap lebih "jantan". Alih-alih, pemahaman tentang peran dan tanggung jawab diri terhadap lingkungan sosialnya dimanifestasikan dengan citra-citra yang melampui pemahaman tentang kesadaran feminisme dan cenderung lebih "beringas" dari laki-laki.
Dengan kata lain, tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, dan ketika sikap permisif laki-laki terhadap peran perempuan di luar rumah tidak bisa diabaikan, maka pada saat yang sama muncullah sebuah "budaya tandingan" yang disebut "psikologi terbalik" atau dalam istilah sosiologi biasa disebut "ledakan sosial."
Perempuan, lebih-lebih di Indonesia, mengalami kejutan-kejutan impulsif atas berbagai dinamika peran emansipatif di saat krannya dibuka secara lebar, sehingga cenderung membludakkan "air segar" feminisme yang begitu deras ke arah-arah yang lebih vulgar dan melanggar tabu-tabu sosial yang seharusnya dipertahankan. Ledakan-ledakan itu bisa saja memunculkan berbagai serpihan-serpihan psikologis perempuan, bahkan dalam bentuk pembalikan yang paling kontras (negatif).
Memang kita sebagai intelektual, setidaknya intelektual kampus, seyogyanya tidak melihat persoalan feminisme sebatas pada peran dan perjuangan akan hak-hak perempuan secara adil, lebih-lebih, dengan memahami bahwa feminisme adalah sebuah persoalan yang multidimensional. Setiap sisi-sisi perempuan berpengaruh terhadap semua kehidupan sosial. Perempuan sebagai manusia, mengambil bagian dalam setiap produk kemanusiaan.

Penutup
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun diluar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereo tipe, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Secara keseluruhan, agenda dan tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut dikawal dan diapresiasikan karena dapat mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa talenta dan kemampuan yang dimiliki wanita sering adakalanya melampaui kapasitas pria. Namun, feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk mensejajarkan posisi dua gender tersebut dalam rangka pemenuhan esensi demokrasi dan cita-cita pembangunan negara, tanpa adanya beberapa pihak yang mengambil keuntungan dari perjuangan kaum hawa di nusantara tercinta.
Tetapi, bagaimanapun kita masih melihat bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat kita, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?


KORUPSI DI BIROKRAT


Di lingkungan birokrat maupun pengusaha, korupsi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buktinya, masyarakat harus membayar mahal pelayanan publik yang buruk. Apabila ingin mendapat pelayanan yang baik, masyarakat harus menyediakan uang pelicin. Kondisi itu diperparah dengan adanya kecenderungan pegawai negeri sipil, harus pandai mengumpulkan uang untuk kenaikan pangkat. Begitu pula tingkat pejabat tinggi, memperluas kroni guna mempertebal saku agar dapat mempertahankan loyalitas bawahan dan jabatannya.
Pada rezim yang memiliki otoritas kuat, pemberantasan korupsi secara konvensional, seperti perbaikan pengawasan melalui institusi negara, terbukti sudah tidak efektif lagi. Pada akhirnya rakyat tetap saja menjadi korban. Apalagi saat ini sudah terbangun mitos di masyarakat korupsi hampir mustahil dibasmi. Korupsi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, penguasa, dan kroni, sementara yang memikul akibatnya seluruh rakyat. 

Upaya Memerangi Korupsi
Untuk memerangi korupsi di kalangan birokrat, memerlukan kampanye massal supaya rakyat sadar pada haknya, memperoleh pelayanan publik yang baik. Kemudian warga yang selalu menjadi korban penyalahgunaan kekua-saan publik, harus mendapat ruang dalam sistem hukum, perlindungan hukum, dan menuntut koruptor ke pengadilan pidana atau perdata.
Celakanya, saat ini ada kecenderungan dari masyarakat semakin "menuhankan" materi. Mereka memberi tempat istimewa kepada pejabat negara yang korup, status sosial kaya raya, dan gaya hidup mewah. Padahal itu semua mustahil atau tidak mungkin bisa diperoleh dari pendapatan resmi. Kedudukan pejabat seperti itu malah mendapat tempat cukup tinggi di masyarakat, diidolakan dan dirubung. Pejabat yang royal berderma, dianggap seseorang yang tinggi ahlaknya dan senantiasa didoakan masyarakat, tanpa pernah dipertanyakan dari mana sumber dananya.
Dalam kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bila semua orang bermimpi jadi koruptor. Bahkan kalau seorang pejabat itu miskin, dianggap tolol dan bodoh. Kalaupun ada kebencian, paling hanya kecemburuan sosial. Pasalnya kalau mereka ada kesempatan dapat dipastikan akan menirunya, bukan membasmi.
Kondisi sama terjadi pula di tubuh para pengusaha, untuk me-ngakhiri patronasi politik dalam bisnisnya harus dimulai dari organisasi profesi dan asosiasi. Itu bisa dilakukan dengan meningkatkan standar etika di kalangan mereka. Salah satunya harus ada kesadaran, tran-saksi bisnis kolutif dan mengabaikan hukum akan merugi-kan kepentingan jangka panjang bisnis mereka. Akibatnya bisa melahirkan biaya tinggi yang membebani konsumen, menekan upah buruh, menciptakan persaingan tidak sehat, dan merusak sumber daya alam.

Mandul
Perlu juga disoroti kemandulan fungsi kontrol lembaga legislatif, yang tidak bisa dilepaskan dari sosok para anggota dewan sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terjun ke dunia politik dengan tujuan mendekatkan atau memiliki akses ke sumber eko-nomi atau melindungi kepentingan bisnisnya. Buktinya, tidak sedikit pejabat dan anggota DPR menjadi kontraktor pengadaan publik atau proyek pembangunan yang dibiayai pemerintah. Dan parahnya lagi para wakil rakyat kita itu sering bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memuluskan keinginan mereka itu. Itu merupakan suatu bukti bahwa korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke tingkat-tingkat daerah. Satu contoh kasus adalah kasus Andi Mustaqim, staf salah satu anggota DPR, yang diduga kuat menjadi perantara proyek-proyek pemerintah di beberapa daerah.
Begitu pula dengan pemilihan calon legislatif, mutlak jadi kewenangan orang kuat dalam parpol pusat maupun daerah. Tidak sedikit mereka yang berhasil duduk di DPR ini dicukongi pengusaha atau bahkan mereka juga adalah pengusaha, sehingga lazim disebut “pejabatusaha”. Terkadang mereka memanfaatkan jabatan mereka sebagai anggota dewan untuk menyertakan perusahaan-perusahaan mereka dalam proyek-proyek pemerintah.
Di bidang yudikatif juga begitu. Mahkamah Agung yang memiliki wewenang yudikasi tertinggi malah sedang terkena kasus jual beli perkara yang melibatkan semua elemen MA, mulai dari tukang parkir sampai ketua MA-nya sendiri, yang sedang diperiksa KPK menyangkut masalah korupsi pengusaha Probosutedjo. Saya menyambut baik dibentuknya Komisi Yudisial, yang diketuai Busyro Muqoddas, untuk memeriksa hakim-hakim yang diduga melakukan penyelewengan-penyelewengan serta membersihkan internal MA dari unprofessional conduct para hakim.
Memberantas korupsi sangat sulit, salah satu cara menekannya yaitu melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Hanya saja perlu diingat, gerakan antikorupsi haruslah merupakan gerakan sosial. Tolok ukur paling penting, yaitu seberapa jauh korupsi berkaitan dengan kepentingan umum dan merugikan keuangan negara. Pasalnya tidak mungkin bisa menyelesaikan semua kasus korupsi dan sangat membingungkan karena begitu banyaknya kasus. Semoga saja seluruh elemen pemerintahan, tidak hanya KPK, dapat terus memerangi korupsi sesuai dengan instruksi Presiden di awal-awal pemerintahannya.







 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space