Monday, February 7, 2011

Mau Dibawa Kemana Otonomi Daerah?



Mau Dibawa Kemana Otonomi Daerah?

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik dipercaya mempunyai banyak sisi positif. Indikatornya adalah bahwa untuk menilai demokratis atau tidaknya sebuah sistem politik, kita dapat melihat dari beberapa kriteria, yang mana salah satunya adalah hubungan pusat dan daerah. Aspirasi politik harusnya dihidupkan sejak awal, yaitu muncul dari daerah-daerah, tidak hanya dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan elit atau masyarakat urban saja. Untuk itu, kelangsungan otonomi daerah menjadi sangat esensial bagi transisi demokrasi bangsa ini pasca rezim otoritarian.
Penulis menemukan enam masalah utama yang sering muncul dalam problematika otonomi daerah yang mulai hidup pasca Soeharto lengser. Pertama, setelah rapat konsultasi antara Presiden dengan Pimpinan DPR, Presiden SBY mengatakan 80 persen dari DOB (Daerah Otonomi Baru) selama 10 tahun terakhir kurang berhasil dan justru menimbulkan masalah baru. Argumen presiden ini kontradiktif dengan data dari Kemendagri yang bulan Juli ini melakukan evaluasi kinerja Pemerintahan Daerah. Menurut Kapuspen Kemendagri, Saut Sitomorang dari 469 jumlah daerah yang dimekarkan, 11 daerah dengan kinerja sangat tinggi (2%), 195 daerah dengan kinerja tinggi (58%),  138 daerah dengan kinerja sedang (34%), dan hanya 67 daerah dengan kinerja rendah (4%). Karena itulah, secara umum dapat kita kategorikan 67% pemekaran daerah berjalan baik, sementara sisanya masuk kategori tertinggal.  DPR pun berpendapat sama, Komisi II mempertanyakan Presiden mendapat data dari mana, jangan-jangan Presiden disuplai dengan data yang tidak valid dan tidak akurat.
Kedua, Grand Design strategi penataan daerah sudah diselesaikan Kemendagri. Menurut Mendagri Gamawan Fauzi rumusan tersebut sudah diserahkan kepada Presiden SBY dan selanjutnya dibahas di Komisi II. Seharusnya dengan selesainya Grand Design ini, Presiden memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk permasalahan pemekaran daerah, bukannya memperkeruh suasana dengan membuat moratorium pemekaran daerah. Ketiga, pada  periode DPR 2009-2014 terdapat 69 rancangan daerah yang masuk ke Komisi II DPR, dimana 33 usulan daerah baru sudah dinilai dan hanya perlu melengkapi persyaratan, dan 3 usulan daerah baru sudah memenuhi persyaratan.
Keempat, pemekaran daerah selalu dianggap sebagai proyek politik bagi DPR, maupun Kemandagri. Menurut Rober Endi Jaweng pemekaran daerah memang proyek menggiurkan bagi mereka. Pasalnya, pemekaran daerah merupakan lahan bagi distribusi kader, lahan jabatan birokrasi, dan politik. Jika moratorium diberlakukan maka mereka tidak dapat meraih keuntungan politik. Terlalu banyak lobi yang dilakukan antara DPR dengan pihak daerah pemekaran, sehingga DPR sering dituduh sebagai agen pemekaran. DPR pun masih berkelit atas data evaluasi yang dilakukan pemerintah. Mereka menganggap bahwa data tersebut bertolak belakang dengan data yang mereka miliki. Di sinilah timbul ketidaksinkronan data dengan pemerintah, DPR, bahkan Kemendagri sekalipun. Kelima, Moratorium pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah dinyatakan tak berlandaskan hukum. Oleh karena itu, moratorium semestinya tak lagi dilanjutkan. Komisi II DPR menilai moratorium tidak ada undang-undangnya, untuk itu dapat dikatakan cacat hukum.
Keenam, pemberian otonomi daerah kepada bupati/walikota memunculkan fenomena yang tidak sinergis antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi. Pasalnya kewenangan bupati/walikota mempersempit tugas gubernur dan kepala daerah di kabupaten/walikota berupaya mencari penghasilan asli daerah (PAD) dengan segala cara untuk membangun daerahnya. Akar permasalahan otonomi daerah kita adalah gabungan antara mandulnya kekuasaan gubernur yang wilayah kekuasannya telah habis dibagi-bagi kepada Bupati serta terlalu besarnya wewenang Bupati dalam mengatur kabupatennya. Salah satu akibatnya, demi mengejar PAD, pembangunan daerah kebablasan tanpa mempertimbangkan keterpaduan pembangunan intra-provinsi dan mengorbankan kelesstarian lingkungan. Kekuasan besar yang dimiliki Bupati juga dapat melahirkan fenomena "Raja-raja kecil" yang meluaskan praktik KKN sampai tingkat kabupaten.
Dari enam temuan di atas, tidak adil rasanya jika penulis tidak memberikan beberapa usulan atau rekomendasi terhadap permasalahan otonomi daerah ini. Pertama, harus ada sonkronisasi data yang jelas dan tepat antara pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena usulan daerah baru bisa masuk melalui pintu DPR, DPD, dan Pemerintah. Kedua, Grand Design strategi penataan daerah harus dapat mencerminkan optimalisasi, transparansi, efektifitas potensi daerah maupun nasional, sehingga sinergitas antar stakeholder dapat terjadi.
            Ketiga, daerah pemekaran selama ini tidak pernah disiapkan sebelum pemekaran. Akibatnya, sampai menginjak tahun ke-5, konsentrasi pembangunan biasanya diarahkan pada fisik sarana dasar. Seharusnya, sebuah daerah sebelum dimekarkan harus menjadi daerah persiapan pemekaran selama 5 tahun, bahkan sampai 10 tahun, baru diberikan status DOB. Dengan begitu, daerah itu matang dalam pemekaran. Keempat, Setiap pemekaran pada dasarnya penggemukan organisasi dan biaya pemda. Cara terbaik adalah memberdayakan kecamatan dan kelurahan untuk pelayanan publik, bukan hanya pemekaran. Ini bisa jadi alternatif lain tuntutan pemekaran.
            Kelima,  otonomi daerah yang ada hendaknya hanya diberikan dan diberlakukan kepada daerah setingkat provinsi atau gubernur dan kota-kota tertentu yang mampu membiayai dirinya sendiri. Meskipun nantinya itu tak dapat dipungkiri akan menimbulkan gejolak sosial, namun hal tersebut dapat menyelamatkan Indonesia pada umumnya dan daerah-daerah pada khususnya dari otonomi daerah yang "kebablasan" tanpa lagi memperhatikan banyaknya kerugian yang akan ditimbulkan karena "keasyikan" memekarkan daerah sendiri.
            Keenam, terkait masalah moratorium yang cacat hukum,  posisi dasar hukum bagi pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran wilayah seharusnya dikembalikan saja pada ketentuan yang masih berlaku yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2007. Walaupun, moratorium bisa jadi sebuah pilihan korektif. Artinya, jangan ada pemekaran dulu sampai terjadi penataan daerah yang sungguh-sungguh komprehensif. Pemekaran daerah harus dikaitkan langsung dengan tujuan utama otonomi daerah, yaitu meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, serta mensejahterakan rakyat. Robert Endi Jaweng juga mengatakan, pemerintah seharusnya mengumumkan lebih dulu hasil evaluasi terhadap daerah pemekaran sebelum melakukan moratorium. “Segera umumkan ke publik evaluasi terhadap daerah pemekaran. Ini dimaksudkan agar publik mengetahui persoalan mendasar mengapa dari 205 daerah pemekaran baru, 80 persen dinyatakan tidak memuaskan. Apakah persoalan APBD atau lainnya.”
Ketujuh, pemekaran daerah seharusnya dilihat dari sudut yang lebih luas. Memang, kita harus akui bahwa pemekaran telah mendekatkan layanan pemerintah daerah dengan rakyatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah pemekaran bisa berkembang karena upaya publik itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini hanyalah stimulan untuk memperluas desentralisasi pemerintahan. Jadi, menurut kami anggaran yang saat ini masih terpusat semaksimal mungkin harus diberikan ke daerah.
            Kedelapan, usulan pembentukan pengadilan khusus pemilu, yang salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi sengketa pemilikada yang selama ini ditangani di MK, menjadi salah satu opsi menarik. Hanya saja, kami berpendapat seharusnya juga dibentuk sebuah lembaga khusus setingkat komisi negara, seperti KPK dan Komnas HAM, yang khusus mengatasi kasus-kasus otonomi daerah, yang meliputi masalah otonomi desa, desentralisasi fiskal, pemekaran dan penggabungan daerah, masyarakat adat, pemilukada, serta pengadilan khusus sengketa pemilukada tadi.  Jika keruwetan masalah Otda ini berlanjut, maka bener lirik lagu yang dibawakan grup band Armada, “mau dibawa kemana” otonomi daerah di Indonesia!




0 comments:

Post a Comment

Monday, February 7, 2011

Mau Dibawa Kemana Otonomi Daerah?



Mau Dibawa Kemana Otonomi Daerah?

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik dipercaya mempunyai banyak sisi positif. Indikatornya adalah bahwa untuk menilai demokratis atau tidaknya sebuah sistem politik, kita dapat melihat dari beberapa kriteria, yang mana salah satunya adalah hubungan pusat dan daerah. Aspirasi politik harusnya dihidupkan sejak awal, yaitu muncul dari daerah-daerah, tidak hanya dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan elit atau masyarakat urban saja. Untuk itu, kelangsungan otonomi daerah menjadi sangat esensial bagi transisi demokrasi bangsa ini pasca rezim otoritarian.
Penulis menemukan enam masalah utama yang sering muncul dalam problematika otonomi daerah yang mulai hidup pasca Soeharto lengser. Pertama, setelah rapat konsultasi antara Presiden dengan Pimpinan DPR, Presiden SBY mengatakan 80 persen dari DOB (Daerah Otonomi Baru) selama 10 tahun terakhir kurang berhasil dan justru menimbulkan masalah baru. Argumen presiden ini kontradiktif dengan data dari Kemendagri yang bulan Juli ini melakukan evaluasi kinerja Pemerintahan Daerah. Menurut Kapuspen Kemendagri, Saut Sitomorang dari 469 jumlah daerah yang dimekarkan, 11 daerah dengan kinerja sangat tinggi (2%), 195 daerah dengan kinerja tinggi (58%),  138 daerah dengan kinerja sedang (34%), dan hanya 67 daerah dengan kinerja rendah (4%). Karena itulah, secara umum dapat kita kategorikan 67% pemekaran daerah berjalan baik, sementara sisanya masuk kategori tertinggal.  DPR pun berpendapat sama, Komisi II mempertanyakan Presiden mendapat data dari mana, jangan-jangan Presiden disuplai dengan data yang tidak valid dan tidak akurat.
Kedua, Grand Design strategi penataan daerah sudah diselesaikan Kemendagri. Menurut Mendagri Gamawan Fauzi rumusan tersebut sudah diserahkan kepada Presiden SBY dan selanjutnya dibahas di Komisi II. Seharusnya dengan selesainya Grand Design ini, Presiden memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk permasalahan pemekaran daerah, bukannya memperkeruh suasana dengan membuat moratorium pemekaran daerah. Ketiga, pada  periode DPR 2009-2014 terdapat 69 rancangan daerah yang masuk ke Komisi II DPR, dimana 33 usulan daerah baru sudah dinilai dan hanya perlu melengkapi persyaratan, dan 3 usulan daerah baru sudah memenuhi persyaratan.
Keempat, pemekaran daerah selalu dianggap sebagai proyek politik bagi DPR, maupun Kemandagri. Menurut Rober Endi Jaweng pemekaran daerah memang proyek menggiurkan bagi mereka. Pasalnya, pemekaran daerah merupakan lahan bagi distribusi kader, lahan jabatan birokrasi, dan politik. Jika moratorium diberlakukan maka mereka tidak dapat meraih keuntungan politik. Terlalu banyak lobi yang dilakukan antara DPR dengan pihak daerah pemekaran, sehingga DPR sering dituduh sebagai agen pemekaran. DPR pun masih berkelit atas data evaluasi yang dilakukan pemerintah. Mereka menganggap bahwa data tersebut bertolak belakang dengan data yang mereka miliki. Di sinilah timbul ketidaksinkronan data dengan pemerintah, DPR, bahkan Kemendagri sekalipun. Kelima, Moratorium pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah dinyatakan tak berlandaskan hukum. Oleh karena itu, moratorium semestinya tak lagi dilanjutkan. Komisi II DPR menilai moratorium tidak ada undang-undangnya, untuk itu dapat dikatakan cacat hukum.
Keenam, pemberian otonomi daerah kepada bupati/walikota memunculkan fenomena yang tidak sinergis antara pemerintah kabupaten/kota dengan provinsi. Pasalnya kewenangan bupati/walikota mempersempit tugas gubernur dan kepala daerah di kabupaten/walikota berupaya mencari penghasilan asli daerah (PAD) dengan segala cara untuk membangun daerahnya. Akar permasalahan otonomi daerah kita adalah gabungan antara mandulnya kekuasaan gubernur yang wilayah kekuasannya telah habis dibagi-bagi kepada Bupati serta terlalu besarnya wewenang Bupati dalam mengatur kabupatennya. Salah satu akibatnya, demi mengejar PAD, pembangunan daerah kebablasan tanpa mempertimbangkan keterpaduan pembangunan intra-provinsi dan mengorbankan kelesstarian lingkungan. Kekuasan besar yang dimiliki Bupati juga dapat melahirkan fenomena "Raja-raja kecil" yang meluaskan praktik KKN sampai tingkat kabupaten.
Dari enam temuan di atas, tidak adil rasanya jika penulis tidak memberikan beberapa usulan atau rekomendasi terhadap permasalahan otonomi daerah ini. Pertama, harus ada sonkronisasi data yang jelas dan tepat antara pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena usulan daerah baru bisa masuk melalui pintu DPR, DPD, dan Pemerintah. Kedua, Grand Design strategi penataan daerah harus dapat mencerminkan optimalisasi, transparansi, efektifitas potensi daerah maupun nasional, sehingga sinergitas antar stakeholder dapat terjadi.
            Ketiga, daerah pemekaran selama ini tidak pernah disiapkan sebelum pemekaran. Akibatnya, sampai menginjak tahun ke-5, konsentrasi pembangunan biasanya diarahkan pada fisik sarana dasar. Seharusnya, sebuah daerah sebelum dimekarkan harus menjadi daerah persiapan pemekaran selama 5 tahun, bahkan sampai 10 tahun, baru diberikan status DOB. Dengan begitu, daerah itu matang dalam pemekaran. Keempat, Setiap pemekaran pada dasarnya penggemukan organisasi dan biaya pemda. Cara terbaik adalah memberdayakan kecamatan dan kelurahan untuk pelayanan publik, bukan hanya pemekaran. Ini bisa jadi alternatif lain tuntutan pemekaran.
            Kelima,  otonomi daerah yang ada hendaknya hanya diberikan dan diberlakukan kepada daerah setingkat provinsi atau gubernur dan kota-kota tertentu yang mampu membiayai dirinya sendiri. Meskipun nantinya itu tak dapat dipungkiri akan menimbulkan gejolak sosial, namun hal tersebut dapat menyelamatkan Indonesia pada umumnya dan daerah-daerah pada khususnya dari otonomi daerah yang "kebablasan" tanpa lagi memperhatikan banyaknya kerugian yang akan ditimbulkan karena "keasyikan" memekarkan daerah sendiri.
            Keenam, terkait masalah moratorium yang cacat hukum,  posisi dasar hukum bagi pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran wilayah seharusnya dikembalikan saja pada ketentuan yang masih berlaku yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2007. Walaupun, moratorium bisa jadi sebuah pilihan korektif. Artinya, jangan ada pemekaran dulu sampai terjadi penataan daerah yang sungguh-sungguh komprehensif. Pemekaran daerah harus dikaitkan langsung dengan tujuan utama otonomi daerah, yaitu meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan daya saing daerah, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, serta mensejahterakan rakyat. Robert Endi Jaweng juga mengatakan, pemerintah seharusnya mengumumkan lebih dulu hasil evaluasi terhadap daerah pemekaran sebelum melakukan moratorium. “Segera umumkan ke publik evaluasi terhadap daerah pemekaran. Ini dimaksudkan agar publik mengetahui persoalan mendasar mengapa dari 205 daerah pemekaran baru, 80 persen dinyatakan tidak memuaskan. Apakah persoalan APBD atau lainnya.”
Ketujuh, pemekaran daerah seharusnya dilihat dari sudut yang lebih luas. Memang, kita harus akui bahwa pemekaran telah mendekatkan layanan pemerintah daerah dengan rakyatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah pemekaran bisa berkembang karena upaya publik itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini hanyalah stimulan untuk memperluas desentralisasi pemerintahan. Jadi, menurut kami anggaran yang saat ini masih terpusat semaksimal mungkin harus diberikan ke daerah.
            Kedelapan, usulan pembentukan pengadilan khusus pemilu, yang salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi sengketa pemilikada yang selama ini ditangani di MK, menjadi salah satu opsi menarik. Hanya saja, kami berpendapat seharusnya juga dibentuk sebuah lembaga khusus setingkat komisi negara, seperti KPK dan Komnas HAM, yang khusus mengatasi kasus-kasus otonomi daerah, yang meliputi masalah otonomi desa, desentralisasi fiskal, pemekaran dan penggabungan daerah, masyarakat adat, pemilukada, serta pengadilan khusus sengketa pemilukada tadi.  Jika keruwetan masalah Otda ini berlanjut, maka bener lirik lagu yang dibawakan grup band Armada, “mau dibawa kemana” otonomi daerah di Indonesia!




No comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space