Friday, February 11, 2011

MEMBAWA DEMOKRASI INDONESIA KE ARAH YANG LEBIH BAIK


             Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah 60 tahun lebih, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!
            Nilai mufakat misalnya, terdapat dalam ajaran berbagai suku bangsa di Indonesia. Berikut beberapa contohnya: Purpar pande dorpi jumadihon tu rapotna (Batak Toba); Poangka-angkataka (Buton); Meunyo ka mupakat, lampoih jeurat ta peugala (Aceh); dan Wasimbataka babwerbrau bata baumda, arema babwatfo (Papua). Ironi kita adalah ketika bangsa Indonesia terbentuk, nilai-nilai adat itu dimarjinalkan. Hal ini salah dalam dua hal. Pertama, kita seakan lupa pada prinsip ekosistem bahwa keragaman merupakan kekuatan, penyeragaman merupakan kelemahan. Kedua, penekanan berlebihan pada “ke-ika-an” sebagai konsekuensi dari praktek pemerintahan yang sentralistis serta pola perekonomian yang dianut. Ketika terjadi perubahan, terutama transformasi sosial yang berjalan cepat sejak reformasi 1998, ketika peran negara melemah diikuti dengan terjangan gelombang globalisasi, rakyat Indonesia mengalami disorientasi yang hebat. Nilai-nilai adat sudah lama dimarjinalkan, sementara nilai nasional yang belum terbentuk secara utuh dicampakkan.


Kesalahan dalam mempraktekkan demokrasi
            Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Lalu, di mana letak kesalahannya? Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.
            Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”.
            Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbih di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.
            Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan partisipative.
            Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dll. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.
            Ada tiga hal yang dapat kita lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik.

Sistem demokrasi yang lebih baik
            Di masa datang, saya menilai prinsip sistem demokrasi, yaitu melalui mekanisme bottom-up disertai transparansi proses politik di tiap tingkatan struktur maupun institusi politik, dan menghindari pemusatan kekuasaan melalui penciptaan mekanisme checks and balances di tiap struktur dan institusi tersebut. Prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi harus menjiwai proses politik di tiap elemen instrumen politik. Lima hal berikut mungkin dapat dipertimbangkan sebagai rujukan untuk merumuskan sistem demokrasi yang kita perlukan di masa depan.
            Pertama, menjalankan program good citizen. Demokrasi tidak akan jalan apabila akarnya (citizen) tidak memiliki ruang toleransi yang memadai, tidak mampu bersikap rasional, dan gagal menyeimbangkan hak dan kewajiban politiknya. Kedua, menyadarkan para elit bahwa demokrasi menyediakan prosedur yang memungkinkan dibangunnya kontrak sosial antara elit dengan masyarakat. Demokrasi memungkinkan rakyat mewarnai aktivitas politik sebagai public service, sehingga mimpi para elit bahwa politik hanyalah media untuk meraih kekuasaan semata dapat dibangunkan.
            Ketiga, menguatkan sistem bikameral dengan menegaskan fungsi DPD. Alternatif yang bisa digalakkan adalah dengan memberi “hak veto” bagi DPD sebagai satu institusi, atau bagi tiap anggota DPD. Keempat, menata ulang reformasi politik di bidang state institution seperti reformasi birokrasi, dan juga di bidang societal institution seperti partai politik. Dan kelima, menciptakan situasi yang kondusif bagi penguatan civil society. Bila kelima hal ini bisa dilaksanakan secara efektif, maka proses mekanisme politik yang bottom-up tadi, akan mulai menggeser paradigma “Republik Kerajaan” yang sudah puluhan tahun melekat dalam memori para elit yang melestarikan pola pikir sentralistis.























0 comments:

Post a Comment

Friday, February 11, 2011

MEMBAWA DEMOKRASI INDONESIA KE ARAH YANG LEBIH BAIK


             Kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis serta mewujudkan sikap nasionalisme kebangsaan di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan amanat para founding fathers kita yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bila kita perhatikan susunan sila-sila dalam Pancasila, tampaklah bahwa demokrasi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan bagian dari tujuan itu sendiri. Namun ironisnya, di usianya yang sudah 60 tahun lebih, “alat” itu belum juga kita temukan. Tujuan utama yang hendak dicapai pun masih sangat jauh dari jangkauan tangan kita. Tapi benarkah “alat” itu (ajaran demokrasi) memang tidak kita miliki? Tentu saja tidak!
            Nilai mufakat misalnya, terdapat dalam ajaran berbagai suku bangsa di Indonesia. Berikut beberapa contohnya: Purpar pande dorpi jumadihon tu rapotna (Batak Toba); Poangka-angkataka (Buton); Meunyo ka mupakat, lampoih jeurat ta peugala (Aceh); dan Wasimbataka babwerbrau bata baumda, arema babwatfo (Papua). Ironi kita adalah ketika bangsa Indonesia terbentuk, nilai-nilai adat itu dimarjinalkan. Hal ini salah dalam dua hal. Pertama, kita seakan lupa pada prinsip ekosistem bahwa keragaman merupakan kekuatan, penyeragaman merupakan kelemahan. Kedua, penekanan berlebihan pada “ke-ika-an” sebagai konsekuensi dari praktek pemerintahan yang sentralistis serta pola perekonomian yang dianut. Ketika terjadi perubahan, terutama transformasi sosial yang berjalan cepat sejak reformasi 1998, ketika peran negara melemah diikuti dengan terjangan gelombang globalisasi, rakyat Indonesia mengalami disorientasi yang hebat. Nilai-nilai adat sudah lama dimarjinalkan, sementara nilai nasional yang belum terbentuk secara utuh dicampakkan.


Kesalahan dalam mempraktekkan demokrasi
            Selama ini kita selalu salah dalam mempraktekkan kehidupan yang demokratis bagi bangsa kita ini. Lalu, di mana letak kesalahannya? Pertama, kita memaknai demokrasi hanya sebatas arena politik, padahal demokrasi didapati di bidang lain, seperti ekonomi, sosial, dan keagamaan. Kedua, demokrasi dimaknai sebatas pelaksanaan pemilu, yaitu hanya memilih pemimpin. Demokrasi adalah wahana di mana pemilik kedaulatan mengejawantahkan kedaulatannya. Jadi, tidak hanya sekedar menyelenggarakan pemilu, bahkan boleh dikatakan selesainya satu pemilu merupakan awal dari ujian kehidupan demokrasi bagi satu bangsa. Ketiga, kita terlalu terpesona dengan praktek demokrasi di negara-negara maju, di mana kondisi dan situasi bangsa-bangsa tersebut jelas sangat berbeda dengan kita.
            Demokrasi adalah ajaran universal. Tetapi operasionalisasi dari ajaran itu harus disesuaikan dengan nilai kultural yang berlaku. Demokrasi memang mengagungkan kebebasan individu, tetapi demokrasi tidak bergerak di ruang hampa. Konsep ini mendapatkan predikat sesuai dengan karakter ruang di mana ia dioperasikan. Misal, demokrasi liberal adalah demokrasi yang tumbuh dalam alam liberalisme, serta berbagai macam jenis demokrasi lainnya yang akan tumbuh sesuai dengan “alamnya”.
            Demokrasi bukan milik salah satu kubu ideologi. Negara-negara Eropa Barat pada mulanya adalah negara-negara liberal yang kemudian membutuhkan demokrasi karena kaum liberal ingin supaya pemerintah melindungi hak-hak individu. Dengan demikian, “liberalisme” lebih dulu ada daripada “demokrasi liberal”. Karena itu tidak tertutup kemungkinan demokrasi tumbih di alam lain dengan nama atau format yang berbeda. Yang penting konsep itu dipahami sebagai suatu proses kreatif, membangun norma maupun hubungan antarindividu sesuai dengan nilai universal demokrasi.
            Nilai universal demokrasi menurut dua orang ahli demokrasi, Ricardo Blaug dan John Schwarzmantel dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader, ada lima hal utama; freedom and autonomy; equality; representation; majority rule; dan citizenship. Secara formal kelima hal ini dapat kita nikmati, namun bentuk ini sudah tidak terlalu sesuai dengan semangat zaman. Saat ini dikehendaki demokrasi yang deliberative, substantive, dan partisipative.
            Pergeseran inilah yang harus kita kelola secara hati-hati, sebab ini terjadi di saat bangsa Indonesia mengalami anomali. Tidak saja di ranah politik, anomali juga dialami di ranah ekonomi, hukum, sosial, budaya, dll. Menghadapi situasi seperti ini, masyarakat cenderung kembali ke nilai-nilai adat yang mereka miliki, atau bersandar pada nilai-nilai agama. Mengingat selama ini terjadi marjinalisasi nilai adat, harapan besar ada pada nilai agama. Namun apa daya, akhir-akhir ini nilai agama lebih digunakan untuk menuntun kita masuk ke istana negara daripada menuju surga.
            Ada tiga hal yang dapat kita lakukan agar nilai universal demokrasi, semangat jaman bisa berubah, dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia dapat disinergikan. Pertama, menggunakan nilai asli kita sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi. Kedua, menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional. Dan ketiga, mengupayakan selekas mungkin institusionalisasi politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistemik.

Sistem demokrasi yang lebih baik
            Di masa datang, saya menilai prinsip sistem demokrasi, yaitu melalui mekanisme bottom-up disertai transparansi proses politik di tiap tingkatan struktur maupun institusi politik, dan menghindari pemusatan kekuasaan melalui penciptaan mekanisme checks and balances di tiap struktur dan institusi tersebut. Prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi harus menjiwai proses politik di tiap elemen instrumen politik. Lima hal berikut mungkin dapat dipertimbangkan sebagai rujukan untuk merumuskan sistem demokrasi yang kita perlukan di masa depan.
            Pertama, menjalankan program good citizen. Demokrasi tidak akan jalan apabila akarnya (citizen) tidak memiliki ruang toleransi yang memadai, tidak mampu bersikap rasional, dan gagal menyeimbangkan hak dan kewajiban politiknya. Kedua, menyadarkan para elit bahwa demokrasi menyediakan prosedur yang memungkinkan dibangunnya kontrak sosial antara elit dengan masyarakat. Demokrasi memungkinkan rakyat mewarnai aktivitas politik sebagai public service, sehingga mimpi para elit bahwa politik hanyalah media untuk meraih kekuasaan semata dapat dibangunkan.
            Ketiga, menguatkan sistem bikameral dengan menegaskan fungsi DPD. Alternatif yang bisa digalakkan adalah dengan memberi “hak veto” bagi DPD sebagai satu institusi, atau bagi tiap anggota DPD. Keempat, menata ulang reformasi politik di bidang state institution seperti reformasi birokrasi, dan juga di bidang societal institution seperti partai politik. Dan kelima, menciptakan situasi yang kondusif bagi penguatan civil society. Bila kelima hal ini bisa dilaksanakan secara efektif, maka proses mekanisme politik yang bottom-up tadi, akan mulai menggeser paradigma “Republik Kerajaan” yang sudah puluhan tahun melekat dalam memori para elit yang melestarikan pola pikir sentralistis.























No comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space