Tuesday, February 8, 2011

Penyederhanaan Parpol: Oligarki Politik Gaya Baru?



Akhir-akhir ini muncul niat dari tiga partai besar di parlemen untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Niat mereka ini akan dituangkan dalam RUU Paket Politik, yang sedang dalam pembahasan di dewan. Selain akan mendorong penerapan parliamentary threshold (PT) sebesar 5 persen, ada usulan untuk memperkecil jumlah kursi per dapil. Dari 3-10 kursi pada Pemilu 2009, salah satu partai besar, Parati Demokrat, siap mengajukan cukup 3-8 kursi saja per dapil untuk Pemilu 2014.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, "Sistem presidensial yang kita anut sekarang akan lebih kuat jika ditunjang partai yang tidak terlalu plural atau majemuk" Sedangkan menurut Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, “alasan utama Golkar bertahan pada angka 5% karena sistem presidensial membutuhkan sistem multipartai yang jauh lebih sederhana. Ini akan membuat proses demokrasi akan lebih efektif dan efisien”. Penerapan PT pun akan dibuat dalam skala nasional, artinya berlaku tidak hanya untuk DPR pusat seperti pemilu lalu, tetapi juga untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Menurut saya, penyederhanan partai harus terjadis secara alamiah karena demokrasi yang baik itu prosesnya terjadi secara alamiah. Kita tidak bisa menderegulasi demokratisasi dengan alasan penyederhaan. Demokrasi memang dipengaruhi banyak oleh yang namanya kapitalisme. Kapitalisme lahir sebelum konsep-konsep demokrasi dieksekusi oleh negara. Kapitalisme banyak berakar dari pemahaman alamiah, seperti dalil utamanya bahwa pasar harus dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah. Pasar harus dibiarkan mengatur dan meregulasi dirinya sendiri, tanpa campur tangan asing. Proses pengaturan ini yang dinamakan Invicible Hands (tangan-tangan yang tak keliahatan). Invicible Hands ini akan mengatur pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Begitu juga dengan demokrasi. Kita tak bisa memungkiri bahwa demokrasi penuh dengan tarik-menarik kepentingan, tetapi yang harus dipahami disini adalah proses alamiah demokrasi akan terjadi dan mengarah kepada kemaslahatan apabila proses tersebut terjadi sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat sebagai stake holder utama demokrasi, bukan para elit politik yang terkadang memanfaatkan demokrasi sebagai alat kepentingannya sendiri. Secara lebih sederhana kita maknai bahwa konsep penyederhanaan partai politik harus dibiarkan terjadi secara alamiah, bukan dengan membuat aturan-aturan kompromistis untuk interest politik sesaat.
Demokrasi tidak boleh dibiarkan menjadi poliarki. Poliarki menurut Joseph Alois Schumpeter, dalam “Capitalism, Socialism and Democracy” menyebabkan demokrasi menjadi kereta kencana tunggangan elite. Makna dasar demokrasi sebagai kekuasaan (rule/kratos) rakyat (people/demos), lenyap dalam rimbunan belukar birokrasi beserta seluruh aturan mainnya. Suara rakyat, yang berlangsung secara periodik pada akhirnya, hanya dibutuhkan sekadar sebagai sumber otoritas bagi elite untuk melayani kepentingannya sendiri. Inilah teori yang digugu dan dipuja para pemikir demokrasi liberal (liberal democracy) yang terkenal sebagai ‘Schumpeterian’.

Pro Kontra PT 5%
Suara partai-partai menengah di DPR pun tidak merta-merta setuju dengan wacana PT 5%. Sekjen PAN Taufik Kurniawan mengatakan, “Batasan PT tentunya harus dicari berdasarkan pertimbangan matang sehingga benar-benar merupakan angka yang paling optimal antara tujuan memperkuat sistem presidensial namun tetap tidak mengabaikan suara rakyat yang diberikan kepada parpol-parpol kecil". Begitu juga Ketua Fraksi PKB Marwan Jafar, “ini adalah bentuk arogansi yang tidak sehat. Demokrasi harus gradual, tidak bisa ujug-ujug dan semena-mena. Kalau PT dipaksakan naik 5 persen tanpa ada alasan yang rasional, bisa jadi justru akan menimbulkan eskalasi sosial dan politik. Ini yang harus dihindari bersama”.
Akibat dari pembatasan jumlah parpol, maka aspirasi masyarakat terkesan seperti sengaja disumbat. Padahal aspirasi masyarakat itu tidak hanya diwakili oleh parpol-parpol besar di parlemen, tetapi masih banyak representasi masyarakat yang aspirasinya juga diwakili oleh parpol-parpol kecil. Contohnya, masyarakat adat, masyarakat daerah terpencil, golongan kekaryaan, dll. Di era Pak Harto saja ada yang dinamakan Utusan Golongan dan Utusan Daerah, malu kita jika di era reformasi ini demokrasi perwakilan kita malah mengalami sebuah dekadensi politik yang bahkan lebih buruk ketimbang era Orba.
Semua komponen bangsa harus waspada dengan gagasan-gagasan yang ingin mengembalikan perpolitikan nasional seperti pada zaman Orde Baru. Sebab, jika masyarakat teledor dengan gagasan tersebut, bukan tak mungkin demokrasi akan kembali terpuruk.  Bangsa ini harus tetap dijaga agar tak kembali mengulang praktik buruk masa lalu. Yaitu berseminya oligarki dan kartelisasi penguasa-pengusaha akibat terlalu minimnya parpol.
Makna penyederhanaan parpol jangan diarahkan untuk membunuh hak berdemokrasi bagi setiap warga yang telah dijamin UUD 1945. 9 parpol yang sekarang eksis di DPR saja masih dikritik masyarakat karena dinilai tidak cukup mewakili, apalagi jika dikurangi. Apalagi negara kita adalah negara yang heterogen, dengan ratusan suku dan bahasa seantero nusantara. Penyederhanaan partai melalui PT, selain akan menyuburkan oligarkhi politik, dipastikan juga membunuh hak-hak politik rakyat yang dijamin konstitusi. pematangan sistem presidensial jangan jadi justifikasi untuk membatasi aspirasi rakyat dalam berdemokrasi.
Seharusnya yang disederhanakan adalah fraksi saja di DPR, katakanlah syarat pembentukan fraksi adalah gabungan partai-partai yang lolos ke DPR, yang gabungan suaranya mencapai 7-10 %. Jadi, kursi-kursi partai kecil tidak hangus, hanya mereka di dalam DPR tidak berkesempatan memiliki fraksi sendiri, sehingga harus menggabungkan dirinya dengan partai-partai lain yang dianggap bisa mewakili aspirasi mereka juga. Sebagai perbandingan, di Senat AS terdapat 1 kursi independen yang menggabungkan dirinya ke Partai Demokrat, sehingga kursi Demokrat menjadi 60 kursi, dan Republik tetap 40 kursi.
Bahkan, jika memungkinkan sebaiknya hanya ada dua fraksi saja di DPR, yaitu fraksi pendukung pemerintah dan fraksi oposisi, layaknya sistem parlementer. Kondisi demikian akan mengefektifkan pemerintahan karena proses lobi-lobi politik akan semakin singkat, dan setiap fraksi sudah terlihat sikapnya terhadap sebuah kebijakan sejak awal, tidak seperti sekarang dimana fraksi-fraksi yang katanya mendukung pemerintah, tiba-tiba bisa berbelok arah dukungannya menghadapi sebuah kasus tertentu, contohnya kasus Century. Hanya saja usulan ini harus terakomodir dalam Tatib DPR, sehingga implementasinya pun jelas dan konstitusional.

Regulator UU Pemilu
Saya pun ingin menyoroti dan mempertanyakan keabsahan dari semua paket undang-undang politik yang dibuat DPR, karena secara akal sehat seharusnya DPR tidak deperkenankan membuat regulasi yang mengatur tentang dirinya sendiri. Apa jadinya bila kita boleh membuat aturan tentang diri kita sendiri? Maka lahirnya sebuah aturan yang kompromistis dan tendensius, karena tentunya tidak mungkin seseorang membuat aturan yang merugikan dirinya sendiri.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat Federal Elections Commisions (FEC) sebagai KPU-nya AS, diberi wewenang oleh Kongres untuk membuat UU Pemilu-nya AS, yang namanya Federal Election Campaign Act (FECA). FECA dibuat tahun 1975 dan masih dipergunakan hingga sekarang, bandingkan dengan UU Pemilu kita yang tiap 5 tahun direvisi. FECA adalah sebuah aturan yang khusus mengatur masalah pendanaan dalam pemilu Amerika Serikat.
Di AS, ketentuan pemilu, baik pemilu federal maupun presiden, diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi dari sekedar UU (Act), yaitu melalui Amandemen Konstitutusi. Amandemen-amandemen tersebut adalah Amandemen XII tahun 1804, Amandemen XVII tahun 1913, Amandemen XX tahun 1933, Amandemen XXII tahun 1951, Amandemen XXIII tahun 1961, dan Amandemen XXV tahun 1967. Aturan-aturan tersebut dipatuhi hingga kini, tanpa tarik-menarik kepentingan tiap kali mau pemilu.
Kembali ke FEC, badan ini mempunyai enam anggota yang ditunjuk presiden, melalui persetujuan Senat. Anggotanya diperbolehkan berasal dari partai politik, tetapi tidak boleh lebih dari tiga, sehingga netralitas dan objektifitas lembaga ini dapat terjaga karena aspirasi anggota yang berasal dari nonparpol dapat terakomodir. Sisanya adalah orang-orang independen yang tidak terkait partai politik apapun. Masa jabatannya adalah 6 tahun,dan setiap 2 tahun ada pemilihan anggota FEC baru.
FEC berfungsi sebagai regulator independen yang bertugas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan pemilu federal maupun pemilu presiden, memastikan aturan yang berkaitan dengan pemilu berjalan efektif, dan mengawasi pendanaan dari masyarakat untuk para calon presiden. Tidak ada aturan setingkat undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat, kecuali tentang pendanaan yang diatur FECA tadi. Sedikitpun FECA tidak mengatur masalah partai, karena bagi mereka establishment dari sebuah partai, baik pendiriannya maupun eksistensinya adalah sebuah hak asasi. Tidak diatur partai-partai mana saja yang boleh ikut pemilu, bahkan calon independen (nonpartai) pun diperkenankan ikut pemilu federal maupun presiden. Seorang pengusaha asal Texas, Ross Perot pernah ikut pemilu AS pada tahun 1992 dan 1996 bersaing dengan Bill Clinton sebagai calon independen.
Jika ingin membuat regulasi yang objektif dan mampu mengakomodir semua pihak, ada baiknya regulasi tersebut tidak dibuat oleh kontestan pemilu. Saya mengusulkan dibuatnya sebuah Komite Nasional untuk membuat paket UU Pemilu. Komite ini diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidang politik, terutama pemilu, yang terdiri dari akademisi, kalangan LSM, Pemerhati, pengamat, dan masyarakat tentunya. Komite Nasional ini akan merumuskan produk UU yang dihasilkan bukan dari hasil kompromi elit yang didasarkan syahwat politik temporal, tetapi betul-betul aturan yang akomodatif dan mendapat legitimasi kultural, sosial, maupun politik dari masyarakat selaku stake holder utama demokrasi. Akhir kata, demokrasi prosedural tidak boleh mereduksi substansi dari demokrasi itu sendiri, melainkan menjaganya agar demokrasi itu sendiri tidak diperkosa oleh kepentingan buta sesaat!





0 comments:

Post a Comment

Tuesday, February 8, 2011

Penyederhanaan Parpol: Oligarki Politik Gaya Baru?



Akhir-akhir ini muncul niat dari tiga partai besar di parlemen untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Niat mereka ini akan dituangkan dalam RUU Paket Politik, yang sedang dalam pembahasan di dewan. Selain akan mendorong penerapan parliamentary threshold (PT) sebesar 5 persen, ada usulan untuk memperkecil jumlah kursi per dapil. Dari 3-10 kursi pada Pemilu 2009, salah satu partai besar, Parati Demokrat, siap mengajukan cukup 3-8 kursi saja per dapil untuk Pemilu 2014.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, "Sistem presidensial yang kita anut sekarang akan lebih kuat jika ditunjang partai yang tidak terlalu plural atau majemuk" Sedangkan menurut Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, “alasan utama Golkar bertahan pada angka 5% karena sistem presidensial membutuhkan sistem multipartai yang jauh lebih sederhana. Ini akan membuat proses demokrasi akan lebih efektif dan efisien”. Penerapan PT pun akan dibuat dalam skala nasional, artinya berlaku tidak hanya untuk DPR pusat seperti pemilu lalu, tetapi juga untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Menurut saya, penyederhanan partai harus terjadis secara alamiah karena demokrasi yang baik itu prosesnya terjadi secara alamiah. Kita tidak bisa menderegulasi demokratisasi dengan alasan penyederhaan. Demokrasi memang dipengaruhi banyak oleh yang namanya kapitalisme. Kapitalisme lahir sebelum konsep-konsep demokrasi dieksekusi oleh negara. Kapitalisme banyak berakar dari pemahaman alamiah, seperti dalil utamanya bahwa pasar harus dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah. Pasar harus dibiarkan mengatur dan meregulasi dirinya sendiri, tanpa campur tangan asing. Proses pengaturan ini yang dinamakan Invicible Hands (tangan-tangan yang tak keliahatan). Invicible Hands ini akan mengatur pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Begitu juga dengan demokrasi. Kita tak bisa memungkiri bahwa demokrasi penuh dengan tarik-menarik kepentingan, tetapi yang harus dipahami disini adalah proses alamiah demokrasi akan terjadi dan mengarah kepada kemaslahatan apabila proses tersebut terjadi sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat sebagai stake holder utama demokrasi, bukan para elit politik yang terkadang memanfaatkan demokrasi sebagai alat kepentingannya sendiri. Secara lebih sederhana kita maknai bahwa konsep penyederhanaan partai politik harus dibiarkan terjadi secara alamiah, bukan dengan membuat aturan-aturan kompromistis untuk interest politik sesaat.
Demokrasi tidak boleh dibiarkan menjadi poliarki. Poliarki menurut Joseph Alois Schumpeter, dalam “Capitalism, Socialism and Democracy” menyebabkan demokrasi menjadi kereta kencana tunggangan elite. Makna dasar demokrasi sebagai kekuasaan (rule/kratos) rakyat (people/demos), lenyap dalam rimbunan belukar birokrasi beserta seluruh aturan mainnya. Suara rakyat, yang berlangsung secara periodik pada akhirnya, hanya dibutuhkan sekadar sebagai sumber otoritas bagi elite untuk melayani kepentingannya sendiri. Inilah teori yang digugu dan dipuja para pemikir demokrasi liberal (liberal democracy) yang terkenal sebagai ‘Schumpeterian’.

Pro Kontra PT 5%
Suara partai-partai menengah di DPR pun tidak merta-merta setuju dengan wacana PT 5%. Sekjen PAN Taufik Kurniawan mengatakan, “Batasan PT tentunya harus dicari berdasarkan pertimbangan matang sehingga benar-benar merupakan angka yang paling optimal antara tujuan memperkuat sistem presidensial namun tetap tidak mengabaikan suara rakyat yang diberikan kepada parpol-parpol kecil". Begitu juga Ketua Fraksi PKB Marwan Jafar, “ini adalah bentuk arogansi yang tidak sehat. Demokrasi harus gradual, tidak bisa ujug-ujug dan semena-mena. Kalau PT dipaksakan naik 5 persen tanpa ada alasan yang rasional, bisa jadi justru akan menimbulkan eskalasi sosial dan politik. Ini yang harus dihindari bersama”.
Akibat dari pembatasan jumlah parpol, maka aspirasi masyarakat terkesan seperti sengaja disumbat. Padahal aspirasi masyarakat itu tidak hanya diwakili oleh parpol-parpol besar di parlemen, tetapi masih banyak representasi masyarakat yang aspirasinya juga diwakili oleh parpol-parpol kecil. Contohnya, masyarakat adat, masyarakat daerah terpencil, golongan kekaryaan, dll. Di era Pak Harto saja ada yang dinamakan Utusan Golongan dan Utusan Daerah, malu kita jika di era reformasi ini demokrasi perwakilan kita malah mengalami sebuah dekadensi politik yang bahkan lebih buruk ketimbang era Orba.
Semua komponen bangsa harus waspada dengan gagasan-gagasan yang ingin mengembalikan perpolitikan nasional seperti pada zaman Orde Baru. Sebab, jika masyarakat teledor dengan gagasan tersebut, bukan tak mungkin demokrasi akan kembali terpuruk.  Bangsa ini harus tetap dijaga agar tak kembali mengulang praktik buruk masa lalu. Yaitu berseminya oligarki dan kartelisasi penguasa-pengusaha akibat terlalu minimnya parpol.
Makna penyederhanaan parpol jangan diarahkan untuk membunuh hak berdemokrasi bagi setiap warga yang telah dijamin UUD 1945. 9 parpol yang sekarang eksis di DPR saja masih dikritik masyarakat karena dinilai tidak cukup mewakili, apalagi jika dikurangi. Apalagi negara kita adalah negara yang heterogen, dengan ratusan suku dan bahasa seantero nusantara. Penyederhanaan partai melalui PT, selain akan menyuburkan oligarkhi politik, dipastikan juga membunuh hak-hak politik rakyat yang dijamin konstitusi. pematangan sistem presidensial jangan jadi justifikasi untuk membatasi aspirasi rakyat dalam berdemokrasi.
Seharusnya yang disederhanakan adalah fraksi saja di DPR, katakanlah syarat pembentukan fraksi adalah gabungan partai-partai yang lolos ke DPR, yang gabungan suaranya mencapai 7-10 %. Jadi, kursi-kursi partai kecil tidak hangus, hanya mereka di dalam DPR tidak berkesempatan memiliki fraksi sendiri, sehingga harus menggabungkan dirinya dengan partai-partai lain yang dianggap bisa mewakili aspirasi mereka juga. Sebagai perbandingan, di Senat AS terdapat 1 kursi independen yang menggabungkan dirinya ke Partai Demokrat, sehingga kursi Demokrat menjadi 60 kursi, dan Republik tetap 40 kursi.
Bahkan, jika memungkinkan sebaiknya hanya ada dua fraksi saja di DPR, yaitu fraksi pendukung pemerintah dan fraksi oposisi, layaknya sistem parlementer. Kondisi demikian akan mengefektifkan pemerintahan karena proses lobi-lobi politik akan semakin singkat, dan setiap fraksi sudah terlihat sikapnya terhadap sebuah kebijakan sejak awal, tidak seperti sekarang dimana fraksi-fraksi yang katanya mendukung pemerintah, tiba-tiba bisa berbelok arah dukungannya menghadapi sebuah kasus tertentu, contohnya kasus Century. Hanya saja usulan ini harus terakomodir dalam Tatib DPR, sehingga implementasinya pun jelas dan konstitusional.

Regulator UU Pemilu
Saya pun ingin menyoroti dan mempertanyakan keabsahan dari semua paket undang-undang politik yang dibuat DPR, karena secara akal sehat seharusnya DPR tidak deperkenankan membuat regulasi yang mengatur tentang dirinya sendiri. Apa jadinya bila kita boleh membuat aturan tentang diri kita sendiri? Maka lahirnya sebuah aturan yang kompromistis dan tendensius, karena tentunya tidak mungkin seseorang membuat aturan yang merugikan dirinya sendiri.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat Federal Elections Commisions (FEC) sebagai KPU-nya AS, diberi wewenang oleh Kongres untuk membuat UU Pemilu-nya AS, yang namanya Federal Election Campaign Act (FECA). FECA dibuat tahun 1975 dan masih dipergunakan hingga sekarang, bandingkan dengan UU Pemilu kita yang tiap 5 tahun direvisi. FECA adalah sebuah aturan yang khusus mengatur masalah pendanaan dalam pemilu Amerika Serikat.
Di AS, ketentuan pemilu, baik pemilu federal maupun presiden, diatur oleh ketentuan yang lebih tinggi dari sekedar UU (Act), yaitu melalui Amandemen Konstitutusi. Amandemen-amandemen tersebut adalah Amandemen XII tahun 1804, Amandemen XVII tahun 1913, Amandemen XX tahun 1933, Amandemen XXII tahun 1951, Amandemen XXIII tahun 1961, dan Amandemen XXV tahun 1967. Aturan-aturan tersebut dipatuhi hingga kini, tanpa tarik-menarik kepentingan tiap kali mau pemilu.
Kembali ke FEC, badan ini mempunyai enam anggota yang ditunjuk presiden, melalui persetujuan Senat. Anggotanya diperbolehkan berasal dari partai politik, tetapi tidak boleh lebih dari tiga, sehingga netralitas dan objektifitas lembaga ini dapat terjaga karena aspirasi anggota yang berasal dari nonparpol dapat terakomodir. Sisanya adalah orang-orang independen yang tidak terkait partai politik apapun. Masa jabatannya adalah 6 tahun,dan setiap 2 tahun ada pemilihan anggota FEC baru.
FEC berfungsi sebagai regulator independen yang bertugas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan pemilu federal maupun pemilu presiden, memastikan aturan yang berkaitan dengan pemilu berjalan efektif, dan mengawasi pendanaan dari masyarakat untuk para calon presiden. Tidak ada aturan setingkat undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat, kecuali tentang pendanaan yang diatur FECA tadi. Sedikitpun FECA tidak mengatur masalah partai, karena bagi mereka establishment dari sebuah partai, baik pendiriannya maupun eksistensinya adalah sebuah hak asasi. Tidak diatur partai-partai mana saja yang boleh ikut pemilu, bahkan calon independen (nonpartai) pun diperkenankan ikut pemilu federal maupun presiden. Seorang pengusaha asal Texas, Ross Perot pernah ikut pemilu AS pada tahun 1992 dan 1996 bersaing dengan Bill Clinton sebagai calon independen.
Jika ingin membuat regulasi yang objektif dan mampu mengakomodir semua pihak, ada baiknya regulasi tersebut tidak dibuat oleh kontestan pemilu. Saya mengusulkan dibuatnya sebuah Komite Nasional untuk membuat paket UU Pemilu. Komite ini diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidang politik, terutama pemilu, yang terdiri dari akademisi, kalangan LSM, Pemerhati, pengamat, dan masyarakat tentunya. Komite Nasional ini akan merumuskan produk UU yang dihasilkan bukan dari hasil kompromi elit yang didasarkan syahwat politik temporal, tetapi betul-betul aturan yang akomodatif dan mendapat legitimasi kultural, sosial, maupun politik dari masyarakat selaku stake holder utama demokrasi. Akhir kata, demokrasi prosedural tidak boleh mereduksi substansi dari demokrasi itu sendiri, melainkan menjaganya agar demokrasi itu sendiri tidak diperkosa oleh kepentingan buta sesaat!





No comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space