Monday, April 25, 2011

PRAM, IN LOVING MEMORIES

    Pada hari Minggu 30 April 2006, tepat lima tahun yang lalu, dunia sastra di tanah air, bahkan mungkin dunia, telah kehilangan seorang penulis yang selama 81 tahun hidupnya, lebih dari setengahnya dihabiskan untuk menulis karya-karya fenomenal. Karya-karya yang selama pemerintahan orde baru “dibredel”, tetapi sekarang malah dipuja-puja. Karya yang selama pemerintahan otoriter itu dilarang, bahkan dibakar, sekarang malah banyak jadi konsumsi publik mulai dari yang tua sampai generasi-generasi muda kita.
Bicara sastra, Pram memang fenomenal. Ia adalah seorang penulis yang telah menerbitkan kurang lebih 50 buku yang juga sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Pram menjadi menjadi penulis yang paling rajin memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Namanya sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra. Penghargaan, yang anehnya malah banyak datang dari luar negeri, menghiasi rumahnya di kawasan Tanah Abang. Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Sang Pemula, Rumah Kaca, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik adalah beberapa contoh karyanya yang fenomenal itu. Hampir semua karya-karyanya adalah berdasarkan cerita sejarah perjalanan bangsa ini, walaupun memang Pram tidak hanya menulis roman-roman sejarah saja. 
Penulisan roman sejarah memang menjadi kreatifitasan Pram yang sangat menonjol. Penonjolan masalah-masalah sosial, politik, budaya, ekonomi Indonesia pada sekitar abad 20-an awal ditampilkan secara menarik olehnya. Apalagi dengan paduan sentuhan percintaan serta suasana psikologis antar lakonnya membuat karya-karyanya seperti dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah menjadi tidak hanya “bertujuan” mengkritik pemerintahan kita saat itu, tetapi juga dapat dinikmati semua kalangan, bahkan yang “buta” politik sekalipun.
Melalui roman sejarah ia memperingatkan bahaya-bahaya eksternal dan internal yang dihadapi bangsa ini. Melalui roman sejarah pula ia melestarikan dan mendekatkan kita secara afektif dengan masa lalu kita. Olehnya, berbagai rangkaian peristiwa sejarah yang pernah dialami bangsa ini menjadi hidup dan nyata dalam hampir setiap karya-karyanya. Pram telah mampu menyatukan pengalaman hidupnya yang sama kelamnya dengan perjalanan sejarah bangsa ini menjadi sebuah karya sastra yang sangat luar biasa sehingga tidak hanya dihargai oleh insan dalam negeri tetapi juga mancanegara.
Pramoedya Ananta Toer sendiri dilahirkan di Blora, Jawa tengah pada tahun 1925. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra. Hal ini yang nantinya membuat ia bermasalah dengan dengan rezim Orba.
Kebiasaan Pram sepulang dari Belanda adalah menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintah ketika itu. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Akhirnya, nalar kritisnya itu membawa Pram berkenalan sendiri dengan Pulau Buru selama masa 1970-an sebagai seorang tahanan politik Orba.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif pada tahun 1995. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI tahun 2000, dan pada tahun 2004 diberikan penghargaan Norwegian Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.
Semua rekognisi ini membuktikan karyanya diakui warga dunia, walau rezim Orba ketika itu mengecam karena Pram dianggap “berbau kiri”. Di rezim ini pula Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri. Beberapa kali diri kepengarangannya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Dan itu terjadi pada seluruh manusia Indonesia yang dicap sebagai tapol ataupun ET, yang dituduh terlibat “gerakan makar”. Walaupun secara ide ia dimatikan, Pram juga mengatakan bahwa mekanisme kreativitaslah yang menggugah tanggapan senang atau tidak, benci atau tidak, sampai-sampai orang melarang, membakar, atau memujanya.
Bagi Pram, pembelaan terhadap Indonesia dimulai dengan “menampilkan” pengetahuan tentang masa lalu Indonesia dalam bentuk karya-karya sastra. Karya yang ia harapkan dapat merubah nasib negeri ini di masa depan. Karena itu, sungguh tragis ketika bagi Pram negeri ini dicabik-cabik oleh kekerasan dan eksploitasi yang mengakibatkan Indonesia tidaklah menjadi seperti harapannya dulu. Dan lebih tragisnya lagi saat dirinya akhirnya menyerah melawan diabetes, penyakit jantung, dan ginjal yang menggerogoti tubuhnya. Ia pun akhirnya meninggalkan kita semua untuk berpulang ke rumah abadinya di sana. Selamat jalan Pram, Jejak Langkah-mu akan selalu dikenang oleh Anak Semua Bangsa.

Tuesday, April 19, 2011

Peranan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam Memperjuangkan Penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia dan ASEAN



Pendahuluan
Indonesia resmi menjabat sebagai Ketua Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) tahun 2011. Penetapan  itu diumumkan bersamaan dengan penutupan Pertemuan Puncak ke-17 ASEAN pada tanggal 30 Oktober 2010 di Hanoi, Vietnam. Dalam acara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pengumuman Indonesia menjadi Ketua ASEAN 2011 sekaligus menyampaikan visi Indonesia sebagai Ketua ASEAN dan tuan rumah pertemuan puncak ASEAN pada 2011. Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono menyatakan, Indonesia menempatkan ASEAN sebagai organisasi yang sangat penting dan akan terus berkomitmen untuk meningkatkan kemajuan organisasi itu.[1]          
Sebenarnya jika kita merujuk pada Piagam ASEAN Pasal 31, dinyatakan bahwa kepemimpinan ASEAN akan digilir setiap tahun berdasarkan urutan alfabetis nama anggota dalam bahasa Inggris. Seharusnya untuk periode 2011 dipegang oleh Brunei Darussalam, bukan Indonesia. Pertukaran jadwal ini dilakukan karena Indonesia akan menjadi host pertemuan KTT Asia Pasific Economic Forum (KTT APEC) pada tahun 2013. Diharapkan pemerintah Indonesia akan dapat memberikan perhatian penuh pada penyelenggaraan masing-masing forum, yakni APEC dan tentunya ASEAN.
“Masyarakat ASEAN di tengah Masyarakat Global” (ASEAN Community in a Global Community of Nations)”, adalah tema yang diusung Indonesia sebagai Ketua ASEAN periode 2011 ini. Tema ini berdasarkan pada visi ASEAN untuk mewujudkan Komunitas ASEAN yang terintegrasi pada tahun 2015 nanti. Kata kuncinya adalah masyarakat, pertanyaannya sejauh mana masyarakat betul-betul dilibatkan sebagai stake holder ASEAN? Keberadaan NGO sebagai elemen dari masyarakat juga apakah signifikan? Mampukah NGO memberikan peran bagi demokrasi dan HAM di Indonesia, bahkan ASEAN? Dan apakah Apakah demokrasi dan HAM akan menjadi tema sentral bagi Komunitas ASEAN di tahun 2015 nanti? Ataukah isu-isu tersebut akan terkooptasi oleh isu keamanan dan ekonomi yang sedang getol-getolnya dibahas oleh ASEAN? Dalam pembahasan berikut akan banyak dijelaskan tentang upaya-upaya yang dilakukan Elsam bagi penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, dan beberapa saran bagi ASEAN menyambut tongkat kepemimpinan yang sekarang diserahkan kepada Indonesia.

Sekilas tentang HAM dan Demokrasi
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[2] Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut  dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.[3] Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Dewasa ini berkembang paradoks dalam perkembangan hak asasi manusia. Di satu sisi, masyarakat mengakui kemajuan-kemajuan dalam legalisasi norma-norma serta instrumen hak asasi dengan berbagai ratifikasi kovenan hak-hak sipol, serta kovenan hak-hak ekosob. Pada saat yang sama, seiring dengan menguatnya isu hak, praktek politik juga secara perlahan mulai lebih berorientasi pada demokrasi dan cara-cara damai, sebagaimana terlihat dalam “isu” reformasi berbagai alat represi negara serta efisiensi birokrasi.
Demokrasi tidak hanya menginstalasikan berbagai kemajuan, pada saat yang sama, di atas kemajuan itu, ia juga mentransparansikan berbagai persoalan dalam perjuangan dan pelembagaan hak asasi. Demokrasi telah merelatifkan segala jenis perjuangan yang semula dianggap prinsipil beserta peralatan institusionalnya. Bisa kita katakan, secara langsung demokrasi menjadi kendaraan bagi tercapainya tujuan hak asasi manusia
Namun demikian, di sisi yang berbeda, makin banyak masyarakat yang resah dengan meluasnya berbagai bentuk konflik dalam masyarakat, intoleransi, dominasi, dan statement kebencian di ruang publik, serta ketidakpuasan sejumlah korban atas penyelesaian kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Ketidakpuasan ini juga bisa ditambah dengan kenyataan bahwa di saat kita menikmati kebebasan sipil dan demokrasi, pada saat yang sama kerja-kerja lembaga HAM semacam Komnas HAM, misalnya, dianggap lebih buruk ketimbang kerja lembaga yang sama di masa politik otoritarian.
Ketika masa otoritarianisme hak asasi, terutama hak kebebasan politik, merupakan isu paling substansial. Karena itu, di bawah legitimasi otoritarianisme, kita mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan hak asasi dan demokrasi menjadi satu kesatuan. Hal tersebut terjadi karena secara konkret keduanya absen dalam kepolitikan otoritarianisme, sehingga mempersatukan keduanya adalam satu nafas tuntutan perjuangan sebagai imajinasi politik menjadi relevan untuk menggantikan otoritarianisme.
Dalam situasi paradoksal ini, banyak pejuang hak asasi bersikap gamang sehingga sering kali mereka mengambil sikap yang sama dengan berbagai kelompok yang sejak dulu bersikap sinis terhadap demokrasi. Kekecewaan para korban dan penggiat advokasi terhadap keadaan seperti itu membawa mereka pada semacam tuduhan fatalistik bahwa demokrasi dan kebebasan hanya sejenis “toolsdari kepentingan borjuasi asing. Ditambah dengan keadaan di mana negara relatif lemah, sehingga lembaga yudikatif dan legislatif dipenuhi oleh korupsi, sinisme terhadap demokrasi dengan gampang diarahkan menjadi kebencian terhadap demokrasi. Masyarakat terperangkap dalam suatu keadaan “memaki-maki demokrasi” sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki itu adalah buah dari demokrasi. Dengan kata lain, di Indonesia kita menemukan adanya kebingungan yang mengarah pada destruksi akibat pemisahan antara hak asasi dengan demokrasi.  
Elsam sejak lahirnya bergerak mengikuti perkembangan jaman. Perubahan taktik dan strategi dilakukan demi menghadapi persoalan-persoalan HAM, dan tentunya demokrasi, yang semakin kompleks. Mekanisme penyelesaian yang hanya berbasis HAM saja dewasa ini sudah tidakmampu lagi menjawab tantangan. Spektrum politik yang bernafaskan democratic approach perlu dikedepankan sebagai solusi. Berikut akan banyak dijelaskan apa-apa saja kerja Elsam dari awal berdirinya, yang hanya mengedepankan aspek hak asasi untuk proses advokasinya, sampai  era reformasi yang sudah mulai berperspektif politis dalam penanganan-penanganan perkaranya.

Definisi dan Sejarah NGO
Memperhatikan percaturan sosial dan politik di Indonesia pada akhir abad ke-20 ini kiranya kita tidak dapat mengabaikan peranan yang dimainkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai bermunculan pada awal tahun 1950-an, kini LSM hadir dalam setiap bidang kehidupan, dan dalam beberapa kasus menjadi penggerak utama perubahan di dalamnya. Peranan LSM tersebut adalah melakukan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah, yang selama ini menjadi pengendali perubahan dalam skala besar, atau melakukan hal yang sama dengan pemerintah tetapi dengan cara yang berbeda.
Dengan mempertimbangkan semangatnya yang hendak menciptakan perbedaan ini, serta keberhasilan relatif di tengah ketiadaan kekuatan lain yang berani berhadapan dengan pemerintah, wajar saja kiranya untuk menyebut LSM sebagai salah satu pendorong dinamika sosial dan politik masyarakat. Dalam hubungan dan situasi seperti inilah maka sebagian orang lebih suka menyebut lembaga-lembaga ini sebagai Organisasi Non-Pemerintah, atau Ornop, yang merupakan terjemahan lurus dari istilah Inggris Non-Governmental Organization (NGO). Dalam situasi politik Indonesia di akhir abad ke-20 yang baru saja terbebas dari otoritarinisme ini, LSM boleh jadi tidak perlu lagi menjadi kekuatan penentang pemerintah, melainkan, sesuai dengan namanya sebagai penganjur ke-swadayaan dan berperan sebagai pelopor masyarakat sipil yang masih jauh dari kuat.[4]
Namun demikian, terlepas dari apapun peranan mereka, yang jelas dalam periode sepuluh sampai lima belas tahun terakhir ini telah sangat banyak bermunculan LSM di Indonesia. LSM tidak hanya menawarkan jalan alternatif yang praktis untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pembangunan sosial dan ekonomi, tetapi juga kegiatan yang bersifat penyadaran dan pembelaan kepentingan umum. Mereka semua berharap dapat  memberdayakan masyarakat dalam berhadapan dengan kekuatan besar pemerintah dan  bisnis swasta. Tetapi, ada pula LSM yang bergerak dalam bidang-bidang yang sesungguhnya merupakan kepentingan semua orang, contohnya seperti lingkungan hidup dan hak konsumen. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan mereka didorong oleh dua hal, kebutuhan riil masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya serta adanya dana bantuan masyarakat luar negeri yang disalurkan langsung kepada masyarakat.[1]
Di dalam khazanah sistem politik Barat pun, NGO (Non-Governmental Organizations) juga merupakan fenomena baru yang belum banyak dibahas. Karena itu, ketidakpahaman tentang LSM di Indonesia juga bisa dimaklumi. Sebagaimana dilihat dari kepustakaan di atas, maka studi yang serius tentang LSM di Indonesia baru dilakukan di pertengahan dasawarsa 1990-an. Studi Ganie-Rochman memusatkan pada peran LSM di tengah otoriterisme Orde Baru (Orba) serta peran dari LSM bidang advokasi. Untuk itu, ia mengetengahkan studi kasus berbasis isu, yaitu Kedung Ombo (konflik tanah dan bendungan), Marsinah (perburuhan), dan Jelmu Sibak (lingkungan dan kehutanan).[5]
Menurut Kastorius Sinaga, LSM di Indonesia memberikan struktur acuan yang legitimate, dimana kelas menengah yang terdidik, yang berada di luar kekuasaan, bisa melegitimasi kegiatan-kegiatan mereka tanpa terlihat seperti menentang pemerintah. Lebih jauh lagi, LSM juga bisa berfungsi sebagai kelompok penyeimbang bagi pihak-pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Mereka pun lebih senang disebut lembaga daripada organisasi, karena kata “organisasi” lebih berasosiasi dengan massa atau dengan partai politik, sampai dengan PKI ketika rezim Orba.[6]
Makin meningkatnya pendidikan dan tingkat pendapatan, terutama ketika terjadi ketidakpuasan di lapisan masyarakat, mulai timbul gejala baru dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Dalam sejarah Barat, partisipasi itu timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yang gelisah. Gejala itulah yang dilihat oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis dalam kunjungannya ke Amerika pada tahun 1830-an, yakni timbulnya perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association). Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara (as a counter-weights to state power).
Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut, yaitu: pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umum. Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat, daripada menggantungkan diri pada prakarsa negara. Ketiga, menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan untuk menarik masyarakat membentuk usaha bersama (co-operative ventures), dan dengan demikian mencairkan sikap isolatif masyarakat, serta membangkitkan tanggung jawab sosial yg lebih luas.[2]
            Perkumpulan dan asosiasi itulah yg kemudian menjadi sokoguru "masyarakat" (civil society). Dan apa yg disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dalam masyarakat Barat dewasa ini disebut sebagai Non Government Organisation (ORNOP, Organisasi non pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association). David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM memberikan gambaran perkembangan LSM. Ia membagi LSM menjadi 4 generasi berdasarkan strategi yg dipilihnya. Generasi pertama, mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam masyarakat. Generasi ini disebut sebagai "relief and welfare" . LSM generasi ini memfokuskan kegiatannya pada kegiatan amal untuk anggota masyarakat yg menyandang masalah sosial. Generasi kedua memusatkan perhatiannya pada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
               Pada generasi ketiga, keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai akibat saja dari masalah regional atau nasional. Masalah mikro dalam masyarakat tidak dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Karena itu penanggulangan mendasar dilihat hanya bisa dimungkinkan jika ada perubahan struktural. Kesadaran seperti itulah yg tumbuh pada LSM generasi ini bersamaan dgn otokritiknya atas LSM generasi sebelumnya sebagai "pengrajin sosial". LSM generasi ini disebut sebagai "sustainable system development". Generasi keempat disebut sebagai "people movement". Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. visi dasarnya adalah cita-cita terciptanya dunia baru yang lebih baik. Karena itu dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia. Ciri gerakan ini dimotori oleh gagasan dan bukan organisasi yg terstruktur.[3]
Peran LSM di sini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya pada proyek-proyek pengembangan masyarakat. Generasi ini disebut sebagai small scale, self reliance local development. Generasi ini melihat masalah sosial dengan lebih kompleks. Tidak sekedar melihat soal yang langsung kelihatan saja tapi juga mencari akar masalah. Fokusnya pada upaya membantu masyarakat memecahkan masalah mereka, misalnya program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan, dll. Semboyan yang populer adalah "Berilah Pancing dan Bukan Ikannya".
Dewasa ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar.
Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen. LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990, Hadiwinata yang mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, menyatakan bahwa sejak itu telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner. Dengan memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.[4]
Joseph S Nye, guru besar Kennedy School of Government Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam karyanya "Soft Power: The Means to Success in World Politics" (2004), aktor-aktor bukan negara seperti LSM, memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap remeh. Selain negara, LSM juga dapat berperan dalam politik kebijakan. Sebut saja lembaga-lembaga yang sudah cukup terkenal: Greenpeace (LSM lingkungan), Human Right Watch dan Amnesty International (lembaga pengawas pelanggaran hak-hak asasi manusia), Transparency International (lembaga pengawas korupsi).[5]
LSM-LSM serupa, seperti yang disebut di atas, memiliki kuasa mengontrol sekaligus menjadi pelaku yang efektif dalam membentuk opini dan atau pandangan tandingan versus negara. LSM juga dapat menjadi batu sandungan bagi korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak etis. Tak ayal, perkembangan teknologi informasi memudahkan lahir dan berkembangnya LSM
LSM memang sering kali mampu secara efektif berkampanye (named and shamed) menentang apa yang dianggap sebagai tidak adil, misalnya kepada perusahaan transnasional yang membayar murah upah buruhnya. Dalam bahasa Nye, LSM dapat melakukan itu semua karena mereka memiliki apa yang disebut kuasa lunak (soft power). Nye mendefinisikan kuasa lunak sebagai "kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya". Kuasa yang dimiliki LSM bukan terutama karena mereka punya sumber daya uang yang banyak atau senjata yang canggih untuk dapat menekan dan memaksakan kepentingannya, melainkan karena keberadaan mereka sebagai bagian dari masyarakat sipil mampu menjadi penyeimbang kuasa negara dan korporasi. LSM tidak memiliki kuasa keras (hard power) yang cukup, seperti halnya negara atau perusahaan-perusahaan besar. Tetapi, LSM cerdik menggunakan kuasa lunak yang mereka dapatkan dari kepercayaan masyarakat. Buah dari kuasa lunak LSM dalam mengontrol kesewenang-wenangan korporasi dan negara sejauh ini relatif behasil, meski konflik kepentingan dan perilaku tak etis dalam tubuh LSM (karena relasinya dengan korporasi dan negara) dapat saja terjadi.
Setelah kita mengetahui sedikit banyak tentang NGO secara umum dan sebelum masuk tentang peran Elsam bagi hak asasi dan demokrasi di Indonesia dan ASEAN, ada baiknya kita juga mengetahui apa yang dimaksud dengan NGO hak asasi manusia (NGO HAM). NGO hak asasi manusia adalah organisasi yang diprakarsai masyarakat sipil untuk memajukan dan melindungi, atau mengimplementasikan hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Di Indonesia organisasi ini mulai lahir dan berkembang pada awal tahun 1970-an dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai motornya.munculnya gerakan civil society dalam penegakan hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berkembangnya NGO HAM Internasional. Saat ini NGO hak asasi manusia di Indonesia telah berkembang dengan pesat, baik dari konteks jumlahnya maupun cakupannya, yang semakin mengarah kepada spesialisasi. Dalam konteks inilah Elsam muncul, yang kemudian diikuti oleh Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), Kontras, SNB, dll.
Berdasarkan karakternya, kita bisa memilah dua kategori besar NGO hak asasi manusia. Pertama adalah NGO hak asasi manusia “idealis”, yaitu organisasi yang didirikan secara voluntaristik dan independen baik dari pemerintah maupun dari kelompok-kelompok yang mencari kekuasaan politik secara langsung. NGO hak asasi manusia dalam kategori ini sangat menjaga independensinya, karena itu organisasi ini mengambil posisi nonpartisan. Kredibilitas dan legitimasinya terletak pada hasil monitor atau fact finding yang objektif, dan integritasnya dalam menerapkan standar internasional hak asasi manusia. Singkatnya, mereka tidak mencari dukungan atau kekuasaan politik, atau meminjam pendapat Wiseberg, “what distinguishes a human rights NGO from other political actors is that the latter, typically, seek to protect the rights of their members or constituents only; a human rights group seek to secure the rights for all members of the society”.[7]
Sedangkan yang kedua adalah NGO yang memiliki tujuan yang lebih luas  daripada sekedar memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah NGO yang didirikan oleh gereja, serikat buruh, organisasi petani, organisasi profesional (pengacara, wartawan, dokter, dan sebagainya), organisasi konsumen, organisasi masyarakat adat, dan NGO-NGO yang memfokuskan perhatiannya pada isu lingkungan dan pembangunan. Bagi organisasi-organisasi ini, yang utama adalah membela masalah-masalah yang dihadapi organisasinya. Sedangkan, pembelaan terhadap hak asasi manusia berada dalam konteks pembelaannya terhadap konstituennya tersebut. Organisasi-organisasi ini tidak memulai dengan agenda yang spesifik mengenai hak asasi manusia, tetapi diletakkan dalam konteks umum usaha bersama memajukan dan melindungi hak asasi manusia. NGO hak asasi manusia dalam kategori ini sering menghadapi tuduhan sebagai “partisan” dan tidak independen.
Elsam pada mulanya memang tidak secara sadar diarahkan secara spesifik menjadikan hak asasi manusia sebagai core business-nya, tetapi seiring dengan pengalaman yang diperoleh dari advokasi yang dilakukannya, akhirnya Elsam menjadikan isu hak asasi manusia sebagai perhatian utamanya. Pada titik ini pun terjadi perdebatan antara fokus kepada isu-isu hak sipol (civil and political rights) atau hak ekosob (economy, social, and cultural rights). Elsam tidak mengambil jalan dikotomi, tetapi mengambil pendekatan indivisible. Perubahan secara sadar menjadi NGO hak asasi manusia kira-kira terjadi setelah dua tahun Elsam berkiprah, yang ditandai dengan advokasi Elsam terhadap ratifikasi Konvensi  Internasional Menentang Penyiksaan (CAT).

Lahirnya Elsam
            Sekitar bulan April 1993, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mulai sering berdikusi instropektif tentang strategi-strategi advokasi yang dilakukan dalam membela korban-korban pembangunan. Pada periode itu, Indonesia memang sedang giat-giatnya membangun proyek dan menjalankan program, yang sebagian besar dibiayai dari pinjaman luar negeri.
            Diskusi-diskusi itu tak selalu formal. Tempatnya juga tak tetap, kadang-kadang di sekretariat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di jalan Diponegoro, Jakpus. Sesekali juga dilakukan di kantor Walhi, Jaksel. Dua organisasi swadaya masyarakat dengan bidang kerja berbeda ini merupakan dua penyangga utama INFID.[8] YLBHI yang memiliki cabang di berbagai kota besar, banyak memberikan bantuan hukum terhadap rakyat yang mengalami kekerasan struktural dari negara. Bantuan yang diberikan berupa pendampingan secara langsung selama berperkara di pengadilan. Walhi, dengan jaringan LSM di berbagai daerah, melakukan advokasi dalam isu-isu lingkungan hidup.
            Dalam diskusi-diskusi tak resmi itu, muncul kegelisahan tentang pola advokasi dan penanganan kasus yang pernah ditangani. Mereka yang terlibat aktif dalam diskusi ini memang orang-orang yang yang memiliki rekam jejak cukup lama di dunia LSM. Ada Direktur YLBHI Abdul Hakim Garuda Nusantara, anggota Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Asmara Nababan, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Hadimulyo, aktivis Walhi Sandra Yati Moniaga, dan Sekretaris INFID Agustinus Rumansara.[9]
            Ada dua hal yang menjadi tema kegelisahan di antara mereka. Pertama, belum ada LSM yang fokus pada studi terhadap kebijakan yang berdampak pada pelaksanaan hak asasi manusia. Kedua, belum ada LSM yang fokus pada kegiatan pendidikan HAM yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban kebijakan yang tak ramah terhadap HAM. Saat itu memang tidak banyak LSM yang melakukan advokasi terhadap kebijakan pembangunan (policy advocacy) karena banyak LSM yang masih fokus pada penanganan kasus.
            Setelah beberapa kali pertemuan, idenya mengerucut pada kesimpulan tentang perlunya suatu lembaga yang setidaknya menjalankan dua fungsi. Pertama, melakukan kajian pada kebijakan-kebijakan dan prgram pembangunan yang berdampak langsung pada HAM, khususnya hak sipil, politik, dan ekonomi. Kedua, melakukan kegiatan pendidikan HAM kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban dari kebijakan pembangunan.
            Siklus kegiatan dari lembaga baru itu haruslah sebuah studi kebijakan, lalu hasilnya dijadikan dasar untuk melakukan advokasi. Ia harus disuarakan melalui penerbitan dan dibawa dalam forum-forum lobi, entah untuk pemerintah, DPR, atau instansi lainnya. Hasil studi ini nantinya juga bisa digunakan untuk bahan pendidikan HAM bagi masyarakat. Kegelisahan dan kristalisasi ide itu berujung pada pembentukan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
            Lembaga baru ini menggariskan tiga hal sebagai tujuan pendiriannya. Pertama, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan peran serta rakyat dalam pembangunan untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Kedua, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan penghormatan terhadap HAM. Ketiga, mengupayakan pembaruan hukum dan kebijakan yang tanggap dan berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan demokrasi serta kepentingan masyarakat.
            Dalam benak para pendiri Elsam, cita-cita besar dalam pendirian lembaga ini adalah mendorong terciptanya negara hukum yang demokratis. Juga memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak asasi manusia warga negaranya. Dalam implementasinya di lapangan, ini harus terwujud dalam sistem hukum dan kinerja aparat yang memberikan perlindungan memadai terhadap hak-hak sipil masyarakat, dengan memberikan perlindungan dari kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan, termasuk dalam bidang ekonomi.
              Masuk ke pembahasan mengenai peran yang dilakukan Elsam kita harus mengenal terlebih dahulu bahwa berbeda dengan NGO HAM Internasional, NGO HAM di Indonesia harus berhadapan dulu dengan “masalah struktural” yang melilit negeri ini, seperti kemiskinan, konflik etnis, konflik agama, korupsi, utang luar negeri, demokratisasi sistem politik, sampai degradasi lingkungan. Dalam konteks ini, strategi dan taktik NGO HAM di Indonesia sangat berbeda dengan NGO Internasional yang lebih fokus pada pelanggaran individual. NGO HAM di sini melihat pelanggaran hak asasi dalam konteks “masalah strukturak” tersebut. Apalagi, isu hak asasi manusia masih dilihat sebagai “western value” oleh banyak masyarakat Indonesia.  Berikut beberapa proyek yang dilakukan Elsam dalam memperjuangkan penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia.
           
Kedung Ombo
            Salah satu studi penting Elsam pada masa-masa awal kelahirannya adalah tentang pelanggaran HAM dalam proyek pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Proyek ini dimulai tahun 1985, yang menuntut pembebasan lahan yang cukup luas di daerah Kedung Ombo. Proyek yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengamanan dan pengendalian banjir di Jateng ini membutuhkan areal kurang lebih 5.898 hektare, yang terdiri dari lahan 1.500 tanah perhutani, 730 sawah, 2.655 tanah tegalan, 985 hektare tanah pekarangan dan 30 hektare tanah kuburan. Daerah yang akan kena proyek ini meliputi beberapa desa di Kecamatan Kemusu, Boyolali. Sebagian lahan yang harus dikosongkan juga berada di Kecamatan Miri dan Sumber Lawang, Sragen. Selain itu, juga ada satu Kecamatan di Kabupaten Grobogan yang terkena proyek ini. Total akan ada 20 desa yang efektif bakal ditenggelamkan untuk pembangunan waduk ini.[10]
            Hasil studi Elsam, yang dilakukan bersama Lawyer Committee for Human Rights, menemukan banyak kasus pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Setidaknya dua pelanggaran HAM yang ditemukan disana. Pertama, tidak adanya musyawarah yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga, pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari masyarakat. Kedua, intimidasi dan teror terhadap warga yang tidak bersedia menerima ganti rugi, serta tidak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi label pembangkang dan dicap sebagai anggota PKI.
            Dalam kampanye di panggung internasional, Elsam difasilitasi oleh Lawyers committee for human rights dan International Rivers Network. Awal kampanye Elsam itu dimulai dengan mengirimkan delegasi untuk bertemu dan menyampaikan hasil studi kepada perwakilan Bank Dunia di Washington DC Amerika Serikat, akhir 1995. Wakil Elsam dalam pertemuan itu adalah Abdul Hakim Garuda Nusantara, Asmara Nababan, dan Ifdhal Kasim. Kepada wakil Bank Dunia, delegasi Elsam meminta agar lembaga keuangan internasional itu juga harus memberikan tekanan pada adanya keadaan tertentu yang dipersyaratkan saat memberi pinjaman kepada Indonesia. Elsam meminta bahwa proyek tersebut harus juga memperhatikan dimensi hak asasi manusia.
            Elsam juga meminta agar Bank Dunia menaikkan harga ganti rugi lahan yang akan diberikan pada warga. Hal ini disebabkan, harga ganti rugi yang diberikan kepada warga sangatlah rendah. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tertanggal 25 Agustus 1986 tentang Pedoman Penetapan Besarnya Ganti Rugi Pelaksanaan Pembebasan Tanah Proyek Kedung Ombo, harganya diatur dengan ketentuan: tanah sawah kelas I Rp. 380 per meter persegi, tanah tegalan kelas II Rp. 250 per meter persegi, tanah pekarangan Rp. 633 per meter persegi.
            Dalam pertemuan itu, Bank Dunia bersikukuh bahwa dampak sosial yang timbul dari pelaksanaan proyek menjadi kewajiban pemerintah Indonesia sebab itu masuk dalam tugas pemerintah kita. Bank Dunia hanya bertanggung jawab untuk masalah konstruksi saja, persoalan implikasi sosial adalah urusan pemerintah Indonesia. Delegasi Elsam mempertanyakan alasan ini karena proyek tersebut dibiayai Bank Dunia sehingga lembaga tersebut mmepunyai kewajiban untuk mendesak pemerintah Indonesia melaksanakan proyeknya, termasuk soal pemindahan orang (transmigrasi) dalam kasus Kedung Ombo, sesuai kebijakan Bank Dunia.
            Kampanye internasional dalam kasus ini mengundang kearahan pemerintah. Pada 15 November 1993, usai bertemu Presiden Soeharto, Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita mengatakan kepada pers bahwa ada LSM yang mencoba berkampanye agar pihak donor mengurangi, bahkan menghentikan bantuannya kepada Indonesia. Menurutnya, kampanye tersebut dilakukan melalui penyebaran informasi bohong kepada pihak-pihak asing di luar negeri. Di dalam negeri, tudingan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita menimbulkan kehebohan. Elsam, sebagai LSM yang disebut secara tak langsung dalam soal ini, membuat klarifikasi. Dalam pernyataan persnya, Direktur Elsam Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan hasil studi lembaganya tidak pernah merekomendasikan agar Bank Dunia menghentikan bantuannya untuk Indonesia.
            Akhirnya, Ginandjar Kartasasmita mengundang wakil-wakil dari LSM pada tanggal 20November 1995. Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung selama tiga jam tersebut, hadir sejumlah tokoh LSM, termasuk Abdul Hakim Garuda Nusantara. Dalam pertemuan itu, Ginandjar mengatakan, yang prinsip bagi pemerintah adalah semua informasi yang disampaikan harus sesuai kebenaran. Fakta-fakta dalam negeri dapat digunakan di dalam negeri untuk memperbaiki kebijakan dalam negeri. Membawa fakta-fakta itu ke luar negeri merupakan hal yang kontra produktif karena dapat menurunkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara atau pemerintah atas usaha-usaha mereka saat ini.
            Kasus itu memang cukup menghebohkan, sebab tuduhan terhadap LSM yang dianggap berkeinginan menggagalkan bantuan merupakan masalah serius sehingga ditanggapi secara hati-hati. Terlepas dari kontroversi itu, studi Elsam untuk masalah Kedung Ombo ini membawa perubahan bagi pelaksanaan proyek itu. Sebagian warga Kedung Ombo mendapat ganti rugi yang lebih layak dan Bank Dunia juga menghentikan bantuan pembangunan dam besar di Indonesia, serta pendekatan yang bersifat keamanan (security approach) sudah mulai berkurang.
Hanya saja, hasil akhir dari perjuangan warga Kedung Ombo melalui jalur pengadilan tak membuahkan hasil. Pengadilan Negeri Semarang menolak gugatan warga Kedung Pring pada 20 Desember 1990. Pengadilan Tinggi Semarang juga bersikap sama, dalam sidang 9 April 1991 gugatan itu tetap ditolak. Angin baik berhembus dari Mahkamah Agung, dalam putusan tanggal 28 Juli 1993 majelis hakim kasasi yang terdiri dari Prof. Asikin Kusuma Atmadja, H. AM. Manrrapi, dan RL Tobing memenangkan warga. Namun, kemenangan warga itu tak berlangsung lama. Dalam sidang peninjauan kembali, 29 Oktober 1994, MA membatalkan kemenangan itu dan mengakhiri harapan warga korban proyek Kedung Ombo untuk bisa menikmati ganti rugi yang layak.[11]

Security Approach
            Pemberitaan media massa pada tahun 1990-an diwarnai cukup banyak berita kekerasan, intimidasi, dan penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil.  Kekerasan itu terjadi di dalam maupun di luar proses hukum, yang biasanya terkait sikap oposisi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah atau implikasi pembangunan. Aneka macam kekerasan itu berada pada taraf yang sangat memprihatinkan. Elsam mencatat banyak sekali penggunaan metode penyiksaan dan eksekusi langsung di luar proses hukum. Kasus-kasus ini merupakan salah satu contoh bagaimana pedekatan keamanan (security approach) sangat mengemuka di masa Orba.
            Ada 10 kasus yang menjadi objek studi Elsam, kasus-kasus itu adalah: Operasi Jaring Merah di Aceh; Kasus Tanah Sei Lepan; Kasus HKBP di Medan; teror dan penyiksaan paksa aksi buruh; pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur; intervensi ke pengadilan dalam kasus pembunuhan Marsinah; penembakan di Nipah, Sampang, Madura; pemberian stigma PKI dalam kasus Kedung Ombo; Operasi bersih menghadang pengunjuk rasa; dan pembunuhan di Liquica, Timor Timur.[12]
            Dari kasus-kasus diatas, Elsam memetakan pola kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara, yang biasanya terkait dengan upaya menjaga stabilitas untuk memuluskan pembangunan. Secara umum, penyiksaan biasamya diawali dengan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat tindak pidana, politik, maupun kriminal. Teknik penyiksaan paling standar selama proses interogasi adalah intimidasi yang disertai pukulan atau tendangan. Korban pun biasanya dipaksa untuk mengakui segala yang dituduhkan kepadanya. Hal ini menunjukkan netapa lemahnya posisi warga masyarakat ketika berhadapan dengan aparat koersif yang berlindung di balik otoritas negara.
            Hasil studi Elsam menyimpulkan, dominasi militer melalui doktrin dwifungsi ABRI dalam pengelolaan berbagai persoalan kemasyarakatan membuka peluang besar terjadinya tindak kekerasan dan penyiksaan tersebut. Melalui lembaga yang bernama Bakorstanas, militer memiliki kewenangan melampaui polisi dan jaksa. Kenyataan ini juga diperburuk dengan tidak memadainya sistem hukum nasional dalam mengantisipasi pelanggaran berat terhadap hak hidup oleh pejabat publik.
            Dalam rekomendasinya, hasil studi Elsam menyarankan beberapa hal. Dua yang terpenting adalah: pertama, meninjau kembali pendekatan keamanan yang selama ini menjadi penyangga stabilitas. Sebab, stabilitas yang diperoleh dengan cara menyebarkan rasa takut di tengah masyarakat adalah stabilitas yang semu. Kedua, mendorong pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi PBB tahun 1984 tentang “Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Lainnya”.[13]
            Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat, setidaknya ada empat alasan mengapa pemerintah perlu segera meratifikasi konvensi PBB tersebut. Pertama, isi konvensi tersebut sangat relevan untuk menjawab kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan pejabat publik, seperti polisi, ABRI, dll yang masih sering terjadi ketika itu. Kedua, nilai-nilai yang terkandung dalam konvensi tersebut amat sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, isi konvensi tersebut akan menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang ada dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan hukum pidana (KUHP) yang sekarang berlaku. Keempat, sejak tanggal 23 Oktober 1985 Indonesia telah menandatangani konvensi PBB menentang penyiksaan.

Kasus Papua dan Timor Timur
             Kasus pelanggaran HAM di Papua (dulu Irian Jaya) dan Timor Leste (dulu Timor Timur) ini merupakan kasus pelanggaran HAM yang sangat besar eksesnya. Bahkan, Timor Timur sekarang sudah merdeka dan mendeklarasikan negara Timor Leste. Pelanggaran HAM yang terjadi di dua daerah ini memang bukan terjadi karena diawali  penentangan atau sikap oposisi dari warganya terhadap pemerintah pusat, tetapi lebih karena pemerintah pusat memiliki kepentingan terhadap daerah-daerah ini yang dikenal memiliki sumber daya alam melimpah. Selain karena ingin mengeruk SDA-nya untuk kepentingan pusat, Papua dan Timor Timur juga dijadikan semacam daerah militer oleh Orba. Ini terlihat dari banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer disana, yang memang punya kepentingan mengamankan bisnis “eksploitasi SDA” yang syarat kepentingan, tidak hanya kepentingan Jakarta, tapi juga negara-negara asing.
            Persingguhan awal Elsam dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di daerah ini adalah melalui pelatihan HAM selama tiga hari di Jayapura. Pesertanya adalah warga yang pernah menjadi korban pelanggaran HAM, termasuk Tom Beanal. Advokasi awal Elsam di Papua melibatkan perusahaan multinasional Freeport McMoran Copper and Gold, Inc., yang berkantor pusat di New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.
            Salah satu kasus besar di Papua yang diadvokasi Elsam adalah laporan tentang kasus pelanggaran HAM yang disampaikan Uskup Mgr. H.F.M. Munninghoff. Dalam laporan setebal 26 halaman itu, tokoh gereja Katolik itu membuka mata Jakarta dan dunia tentang pelanggaran HAM di Timika, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya. Laporan Munninghoff itu mencatat 17 penduduk sipil tewas, empat orang hilang, dan 48 orang ditangkap, ditahan, dan dianiaya dari kurun waktu 6 Oktober 1994 sampai 31 Mei 1995. Laporan Munninghoff itu memancing perhatian nasional. Akhirnya Komnas HAM turun tangan dan melakukan investigasi di Timika, Irian Jaya. Komnas HAM lalu menyatakan ada 16 warga yang terbunuh dan empat penduduk lainnya yang ditahan, sampai hari ini tidak diketahui keberadaannya. Warga tak puas dengan penanganan yang dilakukan Komnas HAM karena mereka tidak memasukkan peran penting PT Freeport Indonesia dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
            Akhirnya warga Amungme, yang diwakili Tom Beanal, memilih jalur pengadilan untuk menggugat PT Freeport secara hukum. Tak tanggung-tanggung, langsung ke pengadilan New Orleans di wilayah Timur Louisiana, Amerika Serikat karena kantor pusat PT Freeport berada disana. Gugatan diajukan pengacara Martin Regan dari Regan, Manasseh & Boshea Law Firm.[14] Elsam aktif terlibat dalam proses pengajuan gugatan dan persidangan kasus ini. Staf dan pengacara Elsam, Aderito de Jesus Soares, menjadi asisten pengacara untuk gugatan warga Amungme kepada PT Freeport di New Orleans.
Dalam berkas gugatannya, PT Freeport dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap suku Amungme dan suku pribumi lainnya, serta melakukan pencemaran lingkungan. Gugatan itu dihadapi Freeport dengan membujuk warga menerima 1 % Trust Fund Freeport. Warga menolak karena menganggapnya sebagai upaya Freeport, ABRI, dan pemerintah untuk mencuci tangan dari masalah pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.
            Kasus ini berakhir dengan adanya kesepakatan antara warga Amungme, yang diwakili Tom Beanal, dengan PT Freeport Indonesia. Ia mendapat pembagian keuntungan 1 % per tahun dari perusahaan tambang itu. PT Freeport juga membayar ganti rugi dan menjadikan kepala suku, Tom Beanal, sebagai komisaris perusahaan tersebut.[15]
            Masuk ke kasus Timor Timur, insiden berdarah di Santa Cruz pada 12 November 1991 memancing sorotan mata internasional akan apa yang terjadi di Timor Timur. Insiden ini bermula dari demonstrasi yang dilakukan mahasiswa terhadap pemerintah Indonesia saat penguburan Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh tentara Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, serta gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Tentara Indonesia menembaki para demonstran yang mengakibatkan 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Insiden Santa Cruz.
            Persingguhan Elsam dengan Timor Timur bermula dari banyaknya kasus pelanggaran HAM di daerah tersebut pasca insiden Santa Cruz. Karena kondisi yang tertutup, tak mudah masuk ke Timor Timur. Waktu itu, Elsam membangun jaringan melalui pastor di Papua. Sekitar tahun 1994, Elsam menyelenggarakan pelatihan di Papua, dengan mengundang peserta dari Timor Timur. Setelah pelatihan tersebut, Elsam memiliki kontak jaringan dengan LSM di daerah tersebut.
            Elsam juga mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM di daerah ini. Pada 14 Januari 1998, Elsam meminta Komnas HAM untuk melakukan investigasi mengenai pelanggaran HAM oleh ABRI di Atabae, Timor Timur. Dalam suratnya, Elsam menyatakan bahwa pihaknya pada 14 November 1997 telah menerima laporan dari Yayasan Hukum Hak Asasi dan Keadilan (Yayasan HAK), Dili. Laporan tersebut mengenai sejumlah pelanggaran HAM yang tergolong dalam Gross Violation of Human Rights atau pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat keamanan terhadap sejumlah penduduk sipil di Kecamatan Atabae, Kabupaten Bobonaro, Timor Timur pada 4 Januari 1998.
            Pasca mundurnya Presiden Soeharto tahun 1998 dan terbitnya era reformasi, pemerintah Indonesia dibawah Presiden Habibie pada 27 Januari 1999 mengeluarkan dua opsi menyangkut masa depan Timor Timur. Pilihannya adalah menerima atau menolak otonomi khusus. Hasilnya dari 438.968 suara sah, 344.580 suara (78,2 %) memilih merdeka dan 94.388 suara (21,8 %) memilih integrasi. Setelah pengumuman dikeluarkan, terjadilah kerusuhan dan pembumihangusan di daerah tersebut.
            Masyarakat nasional maupun internasional sangat prihatin dengan situasi yang terjadi di Timor Timur. Bahkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada pemerintah indonesia dan Komnas HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia akan diadili. Resolusi tersebut juga meminta kepada Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional, serta mengirimkan pelapor khusus tematik ke Timor Timur.
            Hasil penyelidikan Komnas HAM itu ditindaklanjuti dengan penuntutan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Sebelum Kejagung memulai penyelidikannya, Jaksa Agung Marzuki Darusman meminta LSM terlibat sebagai tim ahli, salah satunya adalah Elsam. Hasil itu kelar awal tahun 2001 dan mulai diadili di Pengadilan HAM ad hoc pada 21 Februari 2001. Elsam melakukan monitoring secara intensif saat persidangan berlangsung. Elsam juga memfasilitasi pelatihan hakim ad hoc HAM tentang unsur-unsur tindak pidana pelanggaran HAM berat dan pertanggungjawaban komando.
            Usai persidangan, Elsam membuat laporan sangat komprehensif tentang pelaksanaan pengadilan terhadap para pelanggar HAM tersebut. Dalam laporan berjudul “Kegagalan Leipzig Terulang di Jakarta: Catatan Akhir Pengadilan HAM ad hoc Timor Timur”, Elsam memaparkan sejumlah kelemahan-kelemahan dalam dakwaan yang disusun jaksa.[16] Selain itu, Elsam juga mencatat bahwa jaksa dalam merumuskan dakwaan juga tidak cermat, proses pembuktiannya juga terkesan apa adanya.
            Dalam kesimpulan kajiannya, Elsam menilai jaksa yang mewakili kepentingan umum (termasuk para korban) guna menuntut para pelaku kejahatan yang serius itu jelas sekali tidak menerapkan prinsip “prosecutions are to be undertaken in good faith and with due diligence” yang telah menjadi standar universal. Hal ini tampak jelas dari proses perumusan dakwaan yang sumir, pengajuan alat-alat bukti dan saksi yang tidak maksimal, dan ketiadaan eksplorasi yang gigih dari jaksa. Dapat dikatakan bahwa ada intensi yang tersembunyi untuk tidak menuntut para tersangka dengan adil. Dengan kualitas dakwaan dan pembuktian seperti itu, maka majelis hakim menghadapi materi yang sangat terbatas untuk menentukan kesalahan para terdakwa.
            Pemerintah Indonesia dan Timor Timur sebenarnya juga menggunakan jalur politik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM ini melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Komisi ini tidak bertujuan menjebloskan mereka yang terlibat pelanggaran HAM ke penjara, tetapi untuk memperkuat rekonsiliasi dan persahabatan Indonesia dengan Timor Timur (Timor Leste kemudian). Hasil akhir dari kerja KKP ini sudah bisa diduga. Meski menemukan sejumlah pelanggaran HAM berat, KKP hanya merekomendasikan kedua negara untuk memberikan pengakuan melalui ungkapan penyesalan dan permintaan maaf resmi, serta berkomitmen untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, dan berupaya menyembuhkan luka masa lalu.[17]
Hasil kerja komisi ini diserahkan KKP kepada kedua kepala pemerintahan di Bali, 15 Juli 2008. Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda mengatakan, dengan rekomendasi ini kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dinyatakan selesai. Tetapi, sejumlah aktivis LSM berpendapat lain. Mereka menilai rekomendasi itu tidak lantas membuat para pelakunya tak bisa diadili. Masih ada mekanisme lain yang bisa ditempuh untuk membawa para pelanggar HAM itu ke meja hijau dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tantangan di Era Reformasi
            Awal tahun 1998 adalah senja bagi kekuasaan Orba. Setelah berkuasa selama 32 tahun, rezim ini pun takluk oleh hantaman badai politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Presiden Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, lalu menyerahkan tahtanya kepada sang wakil, BJ Habibie. Perubahan yang bisa dibilang berlangsung cukup cepat itu mengagetkan banyak kalangan, termasuk kalangan LSM yang di masa Orba bergerak dalam isu hak asasi manusia atau bantuan hukum struktural.[18] LSM di era baru ini harus merumuskan kembali agenda bersama untuk mengisi transisi demokrasi setelah rezim otoritarian berganti.
            Bagi Elsam, Orde Reformasi menyediakan tantangan tersendiri. Reorientasi pun dilakukan mengingat pemerintah yang dihadapi tak lagi otoriter seperti sebelumnya. Sejak pertengahan 1999, agenda Elsam didominasi oleh upaya reformasi hukum dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu diabnding keterlibatan dalam kasus-kasus baru. Program-program itu berada dalam kerangka mengisi suatu tatanan demokrasi. Dalam beberapa kasus, peluang untuk pengungkapan kasus-kasus di masa lalu itu memang mendapat angin baru di bawah pemerintahan rezim reformasi yang mulai demokratis.
            Akan tetapi, peluang yang sangat terbuka itu juga merupakan tantangan tersendiri. Sebab, ini merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam situasi seperti ini, aktivis LSM ditantang untuk tidak lagi berteriak dari luar lapangan. Dalam beberapa hal, mereka harus masuk dan terlibat sendiri. Hanya saja itu membutuhkan kemampuan tersendiri, yang belum tentu dimiliki semua aktivis hak asasi manusia. Kemampuan investigasi dan pengetahuan forensik merupakan hal dasar yang minimal harus dikuasai aktivis LSM untuk bisa terlibat dalam upaya penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu.
            Untuk memenuhi kebutuhan itu, Elsam menerbitkan dua buku manual tentang investigasi pelanggaran HAM. Pertama, Menelusuri Jejak Menyingkap Fakta: Panduan Investigasi Pelanggaran HAM, yang diterbitkan Elsam tahun 1999 bekerjasama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). Kedua, buku bertema sama dengan judul Mengungkap Fakta: Buku Saku Panduan Investigasi Pelanggaran HAM yang diterbitkan tahun 2001.
            Satu hal yang juga perlahan berubah setelah reformasi adalah hubungan antara pemerintah dengan LSM. Setelah 1998, secara perlahan hubungan keduanya mulai membaik dan bisa bekerjasama, walau masih terbatas akan isu tertentu saja. Sikap pemerintah yang mulai akomodatif terhadap aspirasi rakyat disambut dengan upaya advokasi yang lebih optimal pula. Dilibatkannya Elsam dalam penyusunan rancangan undang-undang, serta kerja-kerja ad hoc dalam penanganan kasus adalah salah satu indikasi membaiknya hubungan antara mereka. Elsam juga mulai terlibat dalam advokasi kebijakan untuk menggolkan UU Pengadilan HAM, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
            Berubahnya pola hubungan ini juga ditandai dengan berhasil masuknya Elsam dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan negara yang berhubungan dengan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Contohnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam kasus Timur Timor wakil Elsam diminta Kejagung menjadi tim ahli dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum dan sesudah jajak pendapat.  Wakil Elsam juga dilibatkan dalam beberapa tim yang dibentuk Komnas HAM dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, salah satunya adalah Tim Penyelidikan Kasus Orang Hilang.
            Dengan visi sebagai lembaga studi dan advokasi, Elsam mengisi ruang demokrasi yang diberikan alam reformasi dengan menyodorkan sejumlah agenda yang harus diselesaikan oleh pemerintah di era transisi ini. Melalui program transitional justice, Elsam menawarkan sejumlah solusi untuk menuntaskan kasus-kasus masa lalu. Elsam mengusung isu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, selain pengadilan hak asasi manusia ad hoc, serta kampanye anti kekerasan, sampai beberapa tahun sesudahnya.
            Di bawah bendera program ini, Elsam menyelenggarakan pemantauan isu dan studi HAM, membuat penerbitan dan pelayanan hukum. Hasil pemantauan diterbitkan secara reguler, melalui buku-buku, buletin Asasi, Jurnal Dignitas, dll. Diharapkan program ini dapat membantu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang bola panasnya sekarang ada di pemerintahan transisi. Hanya saja, terkadang upaya pemerintah dirasa masih kurang optimal. Walaupun dalam konteks keberadaan undang-undang , katakanlah seperti lahirnya UU KKR, sudah cukup terakomodasi, tetapi dari sisi implementasi penegakan hukumnya masih seperti macan ompong, alias tak bergigi.

Agenda HAM di ASEAN
            Sejak berdirinya, 8 Agustus 1967, isu HAM bukanlah sebuah major element bagi ASEAN. Baru memasuki era 1990-an, ASEAN menyadari bahwa mereka harus memiliki pendekatan bersama tentang HAM, serta berpartisipasi aktif dalam pemajuan dan perlindungan HAM di wilayahnya. Harapan muncul ketika ASEAN Charter ditandatangani tahun 2007. Piagam ini menjadi dasar pembentukan ASEAN Community tahun 2015 dengan tiga pilar utama, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Socio Cultural Community, dan ASEAN Economic Community. Sebagai konsekuensi dari ditandatanganinya ASEAN Charter, salah satu pasalnya yaitu Pasal 14, menyerukan dibentuknya Badan Hak Asasi Manusia ASEAN.
            Indonesia di ASEAN cukup dikenal berperan aktif dalam upaya-upaya pemajuan, penegakan, dan advokasi HAM. Para diplomat kita selalu tegas dalam membawa isu HAM di tingkat regional, maupun internasional mewakili ASEAN. Peran Indonesia juga signifikan, khususnya dalam mendorong ASEAN membentuk komisi hak asasi manusia, yang bernama ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada 23 Oktober 2009 di Hua Hin, Thailand.[19] Akan tetapi, bagaimanapun Indonesia memiliki kepentingannya sendiri dalam hal ini. Prioritas Indonesia lebih kepada hal-hal yang sejalan dengaan tema Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011, yaitu memastikan terjadinya kemajuan signifikan dalam mewujudkan Komunitas ASEAN; memastikan arsitektur regional dan lingkungan regional tetap kondusif bagi pembangunan; dan memulai pembahasan mengenai visi ASEAN pasca 2015, yakni Komunitas ASEAN di tengah Komunitas Global.
            Setidaknya terdapat dua prioritas yang membutuhkan peran aktif Indonesia. Pertama, pengesahan tata cara atau prosedur AICHR dalam mejalankan tupoksinya. Proses ini mengalami permasalahan karena terdapat aturan tentang interaksi AICHR dengan pihak-pihak yang terkait dengan ASEAN, khususnya dengan masyarakat sipil, yang masih mengalami penolakan oleh beberapa negara anggota ASEAN, seperti Myanmar yang ditenggarai bermasalah dengan HAM.
Indonesia sebenarnya mampu meraih dukungan Filipina, dan Thailand untuk kasus ini, tetapi karena mekanisme decision making harus melalui konsensus, maka negara-negara lainnya yang tidak setuju selalu menjadi stumbling block bagi pengesahan aturan-aturan ini. Keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam setiap aspek ASEAN, khususnya dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, menjadi elemen vital bagi implementasi Komunitas ASEAN 2015. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini harus menekankan pada pentingnya pembentukan Komunitas ASEAN yang berorientasi dan berpusat pada masyarakatnya.
Kedua, berangkat dari kerangka acuannya, AICHR dimandatkan untuk menyusun sebuah Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN yang bertujuan membangun kerangka kerja sama hak asasi ASEAN dan instrumen-instrumen HAM lainnya. Indonesia harus mampu membujuk negara-negara anggota ASEAN yang selama ini resisten terhadap formalisasi konsep HAM di ASEAN untuk menerimanya sebagai bagian dari Komunitas ASEAN. Pemerintah juga berkewajiban memastikan bahwa deklarasi tersebut memuat prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi universal.
Akan tetapi, di sisi lain kita sering disuguhkan sebuah realitas politik bahwa komitmen ASEAN dalam penegakan HAM hanya menjadi bagian kecil dari salah satu aspek utama Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN, yaitu aspek political development. Jika HAM kembali bersingguhan dengan spektrum politik, maka upaya-upaya penegakan dan perlindungannya pun menjadi sekedar komoditas politik saja, serta hanya mempunyai level of compliance yang rendah. Walaupun sebenarnya usulan diterapkan Confidence Building Measures (CBM) di tiga pilar ASEAN dapat membawa transparansi tersendiri di bidang HAM, jadi negara yang selama ini terkesan menyembunyikan (conceal) pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka lakukan, mau tidak mau harus mentransparansikannya kepada ASEAN. Otomatis publik pun bisa melakukan assessment terhadap kasus-kasus HAM di semua negara anggota ASEAN, dengan dalih transparansi publik.
Menilik Indonesia yang menjadi Ketua ASEAN 2011 ini, kelihatannya hak asasi manusia tidak akan menjadi agenda besar yang dibawa Indonesia ke level regional tersebut. Isu itu akan kembali menguap seiring dengan konsentrasi ASEAN yang tampaknya akan lebih kepada sektor keamanan dan ekonomi. Padahal, pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN merupakan parameter yang sesuai untuk memastikan terwujudnya Komunitas ASEAN. Seharusnya dengan adanya AICHR, kepemimpinan Indonesia di ASEAN dapat menjadi momen penting bagi realisasi agenda-agenda HAM. Kita juga harus dapat memainkan posisi strategis sebagai Ketua ASEAN untuk menempatkan diri kita sebagai garda terdepan dalam upaya-upaya penghormatan dan penegakan HAM di Asia Tenggara.

Penutup
Sebagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu HAM, pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai adalah menyelesaikan tumpukan kasus pelanggaran HAM yang masih macet penyelesaiannya. Hingga 2010, setidaknya ada empat kasus besar pelanggaran HAM yang penyelesaiannya masih jalan di tempat, meski penyelidikannya sudah dirampungkan Komnas HAM. keempatnya adalah kasus Trisakti dan Semanggi I-II, penculikan 1997/1998, kerusuhan Mei 1998, dan penembakan Wamena-Wasior. Pangkal kemacetannya adalah kurangnya kemauan politik pemerintah untuk menuntaskannya. Selama ini, Kejagung menggunakan alasan formil untuk mengembalikan berkas penyelidikan kasus itu ke Komnas HAM, yang mengakibatkan kasus ini seperti digantung.
            Cerita kurang menggembirakan tentang situasi HAM ini tampaknya dipengaruhi oleh perkembangan internasional yang dianggap kurang berpihak pada isu-isu HAM. Pada 17-18 Mei 2005, Elsam mengadakan lokakarya Pemetaan Inisiatif Advokasi HAM Masyarakat Sipil Indonesia. Dalam pemetaannya, lokakarya menemukan sejumlah problem baru yang dihadapi Indonesia pasca lengsernya Soeharto. Pertama, perkembangan politik internasional pasca serangan 11 September 2001. Hantaman dua pesawat komersial ke gedung WTC di New York itu mengubah konstelasi dunia yang sebelumnya sudah mulai getol mengusut pelanggaran HAM.
            Pasca serangan itu, fokus dunia internasional bergeser ke perang melawan terorisme sehingga agenda pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM juga otomatis tergeser. Dengan alasan melindungi kepentingan nasional, mulai terjadi pengekangan terhadap hak sipil masyarakat. Di Indonesia, dampak dari kejadian itu juga terasa. Insiden 9/11 menguatkan kembali keterlibatan intelijen dan militer untuk melindungi negara, yang mana secara tidak langsung membuat pengusutan kasus pelanggaran HAM mereka di masa lalu cenderung diabaikan.
            Kedua, dampak liberalisasi perdangangan. Dalam bidang ekonomi, perkembangan internasional yang juga berdampak langsung dengan kondisi Indonesia adalah pemberlakuan pasar bebas. Ekses dari free trade ini adalah bertambahnya jumlah penduduk miskin di dunia, terutama di Asia dan Afrika, karena tidak mampu bersaing di pasar global. Indonesia cenderung mengakibatkan kebijakan ekonomi neoliberal, yaitu dengan melakukan kebijakan privatisasi sumber-sumber ekonomi dan menjustifikasi pencabutan subsidi untuk kelompok kecil dan menengah, seperti nelayan, petani, masyarakat, dan kelompok urban, bahkan melimitasi akses rakyat kepada fasilitas publik.
            Sebagai lembaga yang mempunyai rekam jejak cukup panjang dalam advokasi isu-isu HAM, Elsam dinilai memiliki modal yang cukup besar untuk memainkan peran penting dalam mengisi periode transisi menuju demokrasi ini. Namanya dianggap memiliki trademark dalam isu-isu HAM. Selain itu, keterlibatan anggotanya dalam institusi yang bergelut di bidang ini kian mentahbiskan kredibilitasnya. Selain itu, Elsam juga dapat menjadi aset jaringan serta pintu masuk untuk “mempopulerkan” isu HAM di tengah masyarakat dan mendorong institusionalisasi HAM di lembaga-lembaga negara.
Elsam memang tidak berperan dalam upaya-upaya penegakan hak asasi manusia maupun demokrasi di tingkat ASEAN, akan tetapi peran Elsam dalam mempromosikan dan memperjuangkan HAM dan demokrasi di Indonesia dilihat oleh dunia internasional sebagai citra yang positif bagi Indonesia pasca rezim otoriterian tumbang. Secara tidak langsung, iklim hak asasi di Indonesia yang mulai membaik, ditambah dengan kesungguhan pemerintah di Orde Reformasi ini untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu, membuat peran Indonesia di tingkat regional semakin besar, khususnya untuk isu-isu HAM.
Sebagai contoh, pemerintah Swedia pada tahun 2008, melalui Menteri Luar Negeri Carl Bildt, sangat menghargai kemajuan yang dicapai oleh Indonesia dalam masalah perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia . Mereka melihat ada niat yang besar dari pemerintah Indonesia dalam hal ini dan Swedia ingin berbagi dan bertukar pengalaman dengan Indonesia dalam upaya-upaya penegakan HAM. Pemerintah Swedia juga mengapresiasi upaya Indonesia dan ASEAN untuk mendorong terjadinya demokratisasi di Myanmar. [20] Indonesia sebagai Ketua ASEAN, bahkan didesak oleh Asean Interparliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN apabila mereka tetap tidak bersikap demokratis, termasuk untuk isu HAM, dan menolak melakukan rekonsiliasi atas nama rakyat Myanmar.[21]
Dua contoh kasus ini sebenarnya membuktikan bahwa Indonesia di mata dunia internasional sudah cukup mampu membuktikan dirinya sebagai negara yang demokratis dan menjunjung tinggi implementasi hak asasi manusia. Kemampuan kita menjadi anggota Dewan HAM PBB juga menambah value tersebut. Walaupun memang, citra positif itu terpancar tidak sama antara bagaimana dunia luar dan bagaimana masyarakat kita (LSM termasuk di dalamnya) melihatnya.  Masih terdapat perpektif yang bias jika kita bicara HAM sebagai komoditi pencitraan dengan HAM sebagai sebuah nilai yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dioperasionalisasikan di tengah-tengah sebuah bangsa yang mengaku hidup di alam demokrasi.

             
           


[2] Franz Magnis-Suseno. 1999. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 30 – 66
[3] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[4] Robertus Robet. 2008. Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia. Jakarta: ELSAM. Hlm. 25-26.
[6] Ifdhal Kasim (ed). 1999. Membelenggu Kebebasan Dasar: Potret Tiga Kebebasan Dasar di Asia. Jakarta: Elsam. Hlm. 292.
[7] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. xvii.
[8] Sebelum menjadi INFID, organisasi ini awalnya bernama International Non Government for Indonesia (INGI). Tujuan pembentukan organisasi yang lahir tahun 1985 ini adalah untuk melakukan advokasi isu-isu hak asasi manusia dalam pembangunan di Indonesia melalui forum internasional.
[9] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. 12
[10] Atas Nama Pembangunan: Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. 1995. Jakarta: ELSAM dan Lawyer Committee for Human Rights. Hlm. 72.
[11] Perjalanan perjuangan warga Kedung Ombo dapat juga dibaca dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Budiman Tanuredjo. 1997. Dua Kado Hakim Agung Buat Kedung Ombo. Jakarta: Elsam. 
[12] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. 30.
[13] Konvensi ini akhirnya diratifikasi pada 28 September 1998 dan disahkan melalui UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.
[14] Lengkapnya lihat Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer. Jakarta: Elsam. Hlm. 170-194
[15] Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer. Jakarta: Elsam. Hlm. 196-197.
[16] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. 49.
[17] Daan Bronkhorst. 2002. Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di Berbagai Negara. Jakarta: Elsam. Hlm. xxvii
[18] Binny Buchori. 2004. Peta Permasalahan LSM, dalam “LSM: menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan”. Jakarta: Kompas. Hlm. 11.

Monday, April 25, 2011

PRAM, IN LOVING MEMORIES

    Pada hari Minggu 30 April 2006, tepat lima tahun yang lalu, dunia sastra di tanah air, bahkan mungkin dunia, telah kehilangan seorang penulis yang selama 81 tahun hidupnya, lebih dari setengahnya dihabiskan untuk menulis karya-karya fenomenal. Karya-karya yang selama pemerintahan orde baru “dibredel”, tetapi sekarang malah dipuja-puja. Karya yang selama pemerintahan otoriter itu dilarang, bahkan dibakar, sekarang malah banyak jadi konsumsi publik mulai dari yang tua sampai generasi-generasi muda kita.
Bicara sastra, Pram memang fenomenal. Ia adalah seorang penulis yang telah menerbitkan kurang lebih 50 buku yang juga sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Pram menjadi menjadi penulis yang paling rajin memperkenalkan Indonesia kepada dunia. Namanya sering disebut sebagai calon penerima nobel sastra. Penghargaan, yang anehnya malah banyak datang dari luar negeri, menghiasi rumahnya di kawasan Tanah Abang. Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Sang Pemula, Rumah Kaca, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik adalah beberapa contoh karyanya yang fenomenal itu. Hampir semua karya-karyanya adalah berdasarkan cerita sejarah perjalanan bangsa ini, walaupun memang Pram tidak hanya menulis roman-roman sejarah saja. 
Penulisan roman sejarah memang menjadi kreatifitasan Pram yang sangat menonjol. Penonjolan masalah-masalah sosial, politik, budaya, ekonomi Indonesia pada sekitar abad 20-an awal ditampilkan secara menarik olehnya. Apalagi dengan paduan sentuhan percintaan serta suasana psikologis antar lakonnya membuat karya-karyanya seperti dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah menjadi tidak hanya “bertujuan” mengkritik pemerintahan kita saat itu, tetapi juga dapat dinikmati semua kalangan, bahkan yang “buta” politik sekalipun.
Melalui roman sejarah ia memperingatkan bahaya-bahaya eksternal dan internal yang dihadapi bangsa ini. Melalui roman sejarah pula ia melestarikan dan mendekatkan kita secara afektif dengan masa lalu kita. Olehnya, berbagai rangkaian peristiwa sejarah yang pernah dialami bangsa ini menjadi hidup dan nyata dalam hampir setiap karya-karyanya. Pram telah mampu menyatukan pengalaman hidupnya yang sama kelamnya dengan perjalanan sejarah bangsa ini menjadi sebuah karya sastra yang sangat luar biasa sehingga tidak hanya dihargai oleh insan dalam negeri tetapi juga mancanegara.
Pramoedya Ananta Toer sendiri dilahirkan di Blora, Jawa tengah pada tahun 1925. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra. Hal ini yang nantinya membuat ia bermasalah dengan dengan rezim Orba.
Kebiasaan Pram sepulang dari Belanda adalah menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintah ketika itu. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Akhirnya, nalar kritisnya itu membawa Pram berkenalan sendiri dengan Pulau Buru selama masa 1970-an sebagai seorang tahanan politik Orba.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif pada tahun 1995. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI tahun 2000, dan pada tahun 2004 diberikan penghargaan Norwegian Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.
Semua rekognisi ini membuktikan karyanya diakui warga dunia, walau rezim Orba ketika itu mengecam karena Pram dianggap “berbau kiri”. Di rezim ini pula Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri. Beberapa kali diri kepengarangannya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Dan itu terjadi pada seluruh manusia Indonesia yang dicap sebagai tapol ataupun ET, yang dituduh terlibat “gerakan makar”. Walaupun secara ide ia dimatikan, Pram juga mengatakan bahwa mekanisme kreativitaslah yang menggugah tanggapan senang atau tidak, benci atau tidak, sampai-sampai orang melarang, membakar, atau memujanya.
Bagi Pram, pembelaan terhadap Indonesia dimulai dengan “menampilkan” pengetahuan tentang masa lalu Indonesia dalam bentuk karya-karya sastra. Karya yang ia harapkan dapat merubah nasib negeri ini di masa depan. Karena itu, sungguh tragis ketika bagi Pram negeri ini dicabik-cabik oleh kekerasan dan eksploitasi yang mengakibatkan Indonesia tidaklah menjadi seperti harapannya dulu. Dan lebih tragisnya lagi saat dirinya akhirnya menyerah melawan diabetes, penyakit jantung, dan ginjal yang menggerogoti tubuhnya. Ia pun akhirnya meninggalkan kita semua untuk berpulang ke rumah abadinya di sana. Selamat jalan Pram, Jejak Langkah-mu akan selalu dikenang oleh Anak Semua Bangsa.

Tuesday, April 19, 2011

Peranan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam Memperjuangkan Penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Indonesia dan ASEAN



Pendahuluan
Indonesia resmi menjabat sebagai Ketua Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) tahun 2011. Penetapan  itu diumumkan bersamaan dengan penutupan Pertemuan Puncak ke-17 ASEAN pada tanggal 30 Oktober 2010 di Hanoi, Vietnam. Dalam acara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pengumuman Indonesia menjadi Ketua ASEAN 2011 sekaligus menyampaikan visi Indonesia sebagai Ketua ASEAN dan tuan rumah pertemuan puncak ASEAN pada 2011. Dalam pidatonya, Presiden Yudhoyono menyatakan, Indonesia menempatkan ASEAN sebagai organisasi yang sangat penting dan akan terus berkomitmen untuk meningkatkan kemajuan organisasi itu.[1]          
Sebenarnya jika kita merujuk pada Piagam ASEAN Pasal 31, dinyatakan bahwa kepemimpinan ASEAN akan digilir setiap tahun berdasarkan urutan alfabetis nama anggota dalam bahasa Inggris. Seharusnya untuk periode 2011 dipegang oleh Brunei Darussalam, bukan Indonesia. Pertukaran jadwal ini dilakukan karena Indonesia akan menjadi host pertemuan KTT Asia Pasific Economic Forum (KTT APEC) pada tahun 2013. Diharapkan pemerintah Indonesia akan dapat memberikan perhatian penuh pada penyelenggaraan masing-masing forum, yakni APEC dan tentunya ASEAN.
“Masyarakat ASEAN di tengah Masyarakat Global” (ASEAN Community in a Global Community of Nations)”, adalah tema yang diusung Indonesia sebagai Ketua ASEAN periode 2011 ini. Tema ini berdasarkan pada visi ASEAN untuk mewujudkan Komunitas ASEAN yang terintegrasi pada tahun 2015 nanti. Kata kuncinya adalah masyarakat, pertanyaannya sejauh mana masyarakat betul-betul dilibatkan sebagai stake holder ASEAN? Keberadaan NGO sebagai elemen dari masyarakat juga apakah signifikan? Mampukah NGO memberikan peran bagi demokrasi dan HAM di Indonesia, bahkan ASEAN? Dan apakah Apakah demokrasi dan HAM akan menjadi tema sentral bagi Komunitas ASEAN di tahun 2015 nanti? Ataukah isu-isu tersebut akan terkooptasi oleh isu keamanan dan ekonomi yang sedang getol-getolnya dibahas oleh ASEAN? Dalam pembahasan berikut akan banyak dijelaskan tentang upaya-upaya yang dilakukan Elsam bagi penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, dan beberapa saran bagi ASEAN menyambut tongkat kepemimpinan yang sekarang diserahkan kepada Indonesia.

Sekilas tentang HAM dan Demokrasi
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[2] Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut  dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.[3] Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Dewasa ini berkembang paradoks dalam perkembangan hak asasi manusia. Di satu sisi, masyarakat mengakui kemajuan-kemajuan dalam legalisasi norma-norma serta instrumen hak asasi dengan berbagai ratifikasi kovenan hak-hak sipol, serta kovenan hak-hak ekosob. Pada saat yang sama, seiring dengan menguatnya isu hak, praktek politik juga secara perlahan mulai lebih berorientasi pada demokrasi dan cara-cara damai, sebagaimana terlihat dalam “isu” reformasi berbagai alat represi negara serta efisiensi birokrasi.
Demokrasi tidak hanya menginstalasikan berbagai kemajuan, pada saat yang sama, di atas kemajuan itu, ia juga mentransparansikan berbagai persoalan dalam perjuangan dan pelembagaan hak asasi. Demokrasi telah merelatifkan segala jenis perjuangan yang semula dianggap prinsipil beserta peralatan institusionalnya. Bisa kita katakan, secara langsung demokrasi menjadi kendaraan bagi tercapainya tujuan hak asasi manusia
Namun demikian, di sisi yang berbeda, makin banyak masyarakat yang resah dengan meluasnya berbagai bentuk konflik dalam masyarakat, intoleransi, dominasi, dan statement kebencian di ruang publik, serta ketidakpuasan sejumlah korban atas penyelesaian kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Ketidakpuasan ini juga bisa ditambah dengan kenyataan bahwa di saat kita menikmati kebebasan sipil dan demokrasi, pada saat yang sama kerja-kerja lembaga HAM semacam Komnas HAM, misalnya, dianggap lebih buruk ketimbang kerja lembaga yang sama di masa politik otoritarian.
Ketika masa otoritarianisme hak asasi, terutama hak kebebasan politik, merupakan isu paling substansial. Karena itu, di bawah legitimasi otoritarianisme, kita mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan hak asasi dan demokrasi menjadi satu kesatuan. Hal tersebut terjadi karena secara konkret keduanya absen dalam kepolitikan otoritarianisme, sehingga mempersatukan keduanya adalam satu nafas tuntutan perjuangan sebagai imajinasi politik menjadi relevan untuk menggantikan otoritarianisme.
Dalam situasi paradoksal ini, banyak pejuang hak asasi bersikap gamang sehingga sering kali mereka mengambil sikap yang sama dengan berbagai kelompok yang sejak dulu bersikap sinis terhadap demokrasi. Kekecewaan para korban dan penggiat advokasi terhadap keadaan seperti itu membawa mereka pada semacam tuduhan fatalistik bahwa demokrasi dan kebebasan hanya sejenis “toolsdari kepentingan borjuasi asing. Ditambah dengan keadaan di mana negara relatif lemah, sehingga lembaga yudikatif dan legislatif dipenuhi oleh korupsi, sinisme terhadap demokrasi dengan gampang diarahkan menjadi kebencian terhadap demokrasi. Masyarakat terperangkap dalam suatu keadaan “memaki-maki demokrasi” sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki itu adalah buah dari demokrasi. Dengan kata lain, di Indonesia kita menemukan adanya kebingungan yang mengarah pada destruksi akibat pemisahan antara hak asasi dengan demokrasi.  
Elsam sejak lahirnya bergerak mengikuti perkembangan jaman. Perubahan taktik dan strategi dilakukan demi menghadapi persoalan-persoalan HAM, dan tentunya demokrasi, yang semakin kompleks. Mekanisme penyelesaian yang hanya berbasis HAM saja dewasa ini sudah tidakmampu lagi menjawab tantangan. Spektrum politik yang bernafaskan democratic approach perlu dikedepankan sebagai solusi. Berikut akan banyak dijelaskan apa-apa saja kerja Elsam dari awal berdirinya, yang hanya mengedepankan aspek hak asasi untuk proses advokasinya, sampai  era reformasi yang sudah mulai berperspektif politis dalam penanganan-penanganan perkaranya.

Definisi dan Sejarah NGO
Memperhatikan percaturan sosial dan politik di Indonesia pada akhir abad ke-20 ini kiranya kita tidak dapat mengabaikan peranan yang dimainkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai bermunculan pada awal tahun 1950-an, kini LSM hadir dalam setiap bidang kehidupan, dan dalam beberapa kasus menjadi penggerak utama perubahan di dalamnya. Peranan LSM tersebut adalah melakukan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah, yang selama ini menjadi pengendali perubahan dalam skala besar, atau melakukan hal yang sama dengan pemerintah tetapi dengan cara yang berbeda.
Dengan mempertimbangkan semangatnya yang hendak menciptakan perbedaan ini, serta keberhasilan relatif di tengah ketiadaan kekuatan lain yang berani berhadapan dengan pemerintah, wajar saja kiranya untuk menyebut LSM sebagai salah satu pendorong dinamika sosial dan politik masyarakat. Dalam hubungan dan situasi seperti inilah maka sebagian orang lebih suka menyebut lembaga-lembaga ini sebagai Organisasi Non-Pemerintah, atau Ornop, yang merupakan terjemahan lurus dari istilah Inggris Non-Governmental Organization (NGO). Dalam situasi politik Indonesia di akhir abad ke-20 yang baru saja terbebas dari otoritarinisme ini, LSM boleh jadi tidak perlu lagi menjadi kekuatan penentang pemerintah, melainkan, sesuai dengan namanya sebagai penganjur ke-swadayaan dan berperan sebagai pelopor masyarakat sipil yang masih jauh dari kuat.[4]
Namun demikian, terlepas dari apapun peranan mereka, yang jelas dalam periode sepuluh sampai lima belas tahun terakhir ini telah sangat banyak bermunculan LSM di Indonesia. LSM tidak hanya menawarkan jalan alternatif yang praktis untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat pembangunan sosial dan ekonomi, tetapi juga kegiatan yang bersifat penyadaran dan pembelaan kepentingan umum. Mereka semua berharap dapat  memberdayakan masyarakat dalam berhadapan dengan kekuatan besar pemerintah dan  bisnis swasta. Tetapi, ada pula LSM yang bergerak dalam bidang-bidang yang sesungguhnya merupakan kepentingan semua orang, contohnya seperti lingkungan hidup dan hak konsumen. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan mereka didorong oleh dua hal, kebutuhan riil masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya serta adanya dana bantuan masyarakat luar negeri yang disalurkan langsung kepada masyarakat.[1]
Di dalam khazanah sistem politik Barat pun, NGO (Non-Governmental Organizations) juga merupakan fenomena baru yang belum banyak dibahas. Karena itu, ketidakpahaman tentang LSM di Indonesia juga bisa dimaklumi. Sebagaimana dilihat dari kepustakaan di atas, maka studi yang serius tentang LSM di Indonesia baru dilakukan di pertengahan dasawarsa 1990-an. Studi Ganie-Rochman memusatkan pada peran LSM di tengah otoriterisme Orde Baru (Orba) serta peran dari LSM bidang advokasi. Untuk itu, ia mengetengahkan studi kasus berbasis isu, yaitu Kedung Ombo (konflik tanah dan bendungan), Marsinah (perburuhan), dan Jelmu Sibak (lingkungan dan kehutanan).[5]
Menurut Kastorius Sinaga, LSM di Indonesia memberikan struktur acuan yang legitimate, dimana kelas menengah yang terdidik, yang berada di luar kekuasaan, bisa melegitimasi kegiatan-kegiatan mereka tanpa terlihat seperti menentang pemerintah. Lebih jauh lagi, LSM juga bisa berfungsi sebagai kelompok penyeimbang bagi pihak-pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Mereka pun lebih senang disebut lembaga daripada organisasi, karena kata “organisasi” lebih berasosiasi dengan massa atau dengan partai politik, sampai dengan PKI ketika rezim Orba.[6]
Makin meningkatnya pendidikan dan tingkat pendapatan, terutama ketika terjadi ketidakpuasan di lapisan masyarakat, mulai timbul gejala baru dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Dalam sejarah Barat, partisipasi itu timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yang gelisah. Gejala itulah yang dilihat oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis dalam kunjungannya ke Amerika pada tahun 1830-an, yakni timbulnya perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association). Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara (as a counter-weights to state power).
Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut, yaitu: pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umum. Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat, daripada menggantungkan diri pada prakarsa negara. Ketiga, menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan untuk menarik masyarakat membentuk usaha bersama (co-operative ventures), dan dengan demikian mencairkan sikap isolatif masyarakat, serta membangkitkan tanggung jawab sosial yg lebih luas.[2]
            Perkumpulan dan asosiasi itulah yg kemudian menjadi sokoguru "masyarakat" (civil society). Dan apa yg disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dalam masyarakat Barat dewasa ini disebut sebagai Non Government Organisation (ORNOP, Organisasi non pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association). David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM memberikan gambaran perkembangan LSM. Ia membagi LSM menjadi 4 generasi berdasarkan strategi yg dipilihnya. Generasi pertama, mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam masyarakat. Generasi ini disebut sebagai "relief and welfare" . LSM generasi ini memfokuskan kegiatannya pada kegiatan amal untuk anggota masyarakat yg menyandang masalah sosial. Generasi kedua memusatkan perhatiannya pada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
               Pada generasi ketiga, keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai akibat saja dari masalah regional atau nasional. Masalah mikro dalam masyarakat tidak dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Karena itu penanggulangan mendasar dilihat hanya bisa dimungkinkan jika ada perubahan struktural. Kesadaran seperti itulah yg tumbuh pada LSM generasi ini bersamaan dgn otokritiknya atas LSM generasi sebelumnya sebagai "pengrajin sosial". LSM generasi ini disebut sebagai "sustainable system development". Generasi keempat disebut sebagai "people movement". Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. visi dasarnya adalah cita-cita terciptanya dunia baru yang lebih baik. Karena itu dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia. Ciri gerakan ini dimotori oleh gagasan dan bukan organisasi yg terstruktur.[3]
Peran LSM di sini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya pada proyek-proyek pengembangan masyarakat. Generasi ini disebut sebagai small scale, self reliance local development. Generasi ini melihat masalah sosial dengan lebih kompleks. Tidak sekedar melihat soal yang langsung kelihatan saja tapi juga mencari akar masalah. Fokusnya pada upaya membantu masyarakat memecahkan masalah mereka, misalnya program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan, dll. Semboyan yang populer adalah "Berilah Pancing dan Bukan Ikannya".
Dewasa ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar.
Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen. LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990, Hadiwinata yang mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, menyatakan bahwa sejak itu telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner. Dengan memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.[4]
Joseph S Nye, guru besar Kennedy School of Government Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam karyanya "Soft Power: The Means to Success in World Politics" (2004), aktor-aktor bukan negara seperti LSM, memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap remeh. Selain negara, LSM juga dapat berperan dalam politik kebijakan. Sebut saja lembaga-lembaga yang sudah cukup terkenal: Greenpeace (LSM lingkungan), Human Right Watch dan Amnesty International (lembaga pengawas pelanggaran hak-hak asasi manusia), Transparency International (lembaga pengawas korupsi).[5]
LSM-LSM serupa, seperti yang disebut di atas, memiliki kuasa mengontrol sekaligus menjadi pelaku yang efektif dalam membentuk opini dan atau pandangan tandingan versus negara. LSM juga dapat menjadi batu sandungan bagi korporasi yang melakukan praktik bisnis yang tidak etis. Tak ayal, perkembangan teknologi informasi memudahkan lahir dan berkembangnya LSM
LSM memang sering kali mampu secara efektif berkampanye (named and shamed) menentang apa yang dianggap sebagai tidak adil, misalnya kepada perusahaan transnasional yang membayar murah upah buruhnya. Dalam bahasa Nye, LSM dapat melakukan itu semua karena mereka memiliki apa yang disebut kuasa lunak (soft power). Nye mendefinisikan kuasa lunak sebagai "kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya". Kuasa yang dimiliki LSM bukan terutama karena mereka punya sumber daya uang yang banyak atau senjata yang canggih untuk dapat menekan dan memaksakan kepentingannya, melainkan karena keberadaan mereka sebagai bagian dari masyarakat sipil mampu menjadi penyeimbang kuasa negara dan korporasi. LSM tidak memiliki kuasa keras (hard power) yang cukup, seperti halnya negara atau perusahaan-perusahaan besar. Tetapi, LSM cerdik menggunakan kuasa lunak yang mereka dapatkan dari kepercayaan masyarakat. Buah dari kuasa lunak LSM dalam mengontrol kesewenang-wenangan korporasi dan negara sejauh ini relatif behasil, meski konflik kepentingan dan perilaku tak etis dalam tubuh LSM (karena relasinya dengan korporasi dan negara) dapat saja terjadi.
Setelah kita mengetahui sedikit banyak tentang NGO secara umum dan sebelum masuk tentang peran Elsam bagi hak asasi dan demokrasi di Indonesia dan ASEAN, ada baiknya kita juga mengetahui apa yang dimaksud dengan NGO hak asasi manusia (NGO HAM). NGO hak asasi manusia adalah organisasi yang diprakarsai masyarakat sipil untuk memajukan dan melindungi, atau mengimplementasikan hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Di Indonesia organisasi ini mulai lahir dan berkembang pada awal tahun 1970-an dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai motornya.munculnya gerakan civil society dalam penegakan hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berkembangnya NGO HAM Internasional. Saat ini NGO hak asasi manusia di Indonesia telah berkembang dengan pesat, baik dari konteks jumlahnya maupun cakupannya, yang semakin mengarah kepada spesialisasi. Dalam konteks inilah Elsam muncul, yang kemudian diikuti oleh Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), Kontras, SNB, dll.
Berdasarkan karakternya, kita bisa memilah dua kategori besar NGO hak asasi manusia. Pertama adalah NGO hak asasi manusia “idealis”, yaitu organisasi yang didirikan secara voluntaristik dan independen baik dari pemerintah maupun dari kelompok-kelompok yang mencari kekuasaan politik secara langsung. NGO hak asasi manusia dalam kategori ini sangat menjaga independensinya, karena itu organisasi ini mengambil posisi nonpartisan. Kredibilitas dan legitimasinya terletak pada hasil monitor atau fact finding yang objektif, dan integritasnya dalam menerapkan standar internasional hak asasi manusia. Singkatnya, mereka tidak mencari dukungan atau kekuasaan politik, atau meminjam pendapat Wiseberg, “what distinguishes a human rights NGO from other political actors is that the latter, typically, seek to protect the rights of their members or constituents only; a human rights group seek to secure the rights for all members of the society”.[7]
Sedangkan yang kedua adalah NGO yang memiliki tujuan yang lebih luas  daripada sekedar memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Termasuk dalam kategori ini adalah NGO yang didirikan oleh gereja, serikat buruh, organisasi petani, organisasi profesional (pengacara, wartawan, dokter, dan sebagainya), organisasi konsumen, organisasi masyarakat adat, dan NGO-NGO yang memfokuskan perhatiannya pada isu lingkungan dan pembangunan. Bagi organisasi-organisasi ini, yang utama adalah membela masalah-masalah yang dihadapi organisasinya. Sedangkan, pembelaan terhadap hak asasi manusia berada dalam konteks pembelaannya terhadap konstituennya tersebut. Organisasi-organisasi ini tidak memulai dengan agenda yang spesifik mengenai hak asasi manusia, tetapi diletakkan dalam konteks umum usaha bersama memajukan dan melindungi hak asasi manusia. NGO hak asasi manusia dalam kategori ini sering menghadapi tuduhan sebagai “partisan” dan tidak independen.
Elsam pada mulanya memang tidak secara sadar diarahkan secara spesifik menjadikan hak asasi manusia sebagai core business-nya, tetapi seiring dengan pengalaman yang diperoleh dari advokasi yang dilakukannya, akhirnya Elsam menjadikan isu hak asasi manusia sebagai perhatian utamanya. Pada titik ini pun terjadi perdebatan antara fokus kepada isu-isu hak sipol (civil and political rights) atau hak ekosob (economy, social, and cultural rights). Elsam tidak mengambil jalan dikotomi, tetapi mengambil pendekatan indivisible. Perubahan secara sadar menjadi NGO hak asasi manusia kira-kira terjadi setelah dua tahun Elsam berkiprah, yang ditandai dengan advokasi Elsam terhadap ratifikasi Konvensi  Internasional Menentang Penyiksaan (CAT).

Lahirnya Elsam
            Sekitar bulan April 1993, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mulai sering berdikusi instropektif tentang strategi-strategi advokasi yang dilakukan dalam membela korban-korban pembangunan. Pada periode itu, Indonesia memang sedang giat-giatnya membangun proyek dan menjalankan program, yang sebagian besar dibiayai dari pinjaman luar negeri.
            Diskusi-diskusi itu tak selalu formal. Tempatnya juga tak tetap, kadang-kadang di sekretariat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di jalan Diponegoro, Jakpus. Sesekali juga dilakukan di kantor Walhi, Jaksel. Dua organisasi swadaya masyarakat dengan bidang kerja berbeda ini merupakan dua penyangga utama INFID.[8] YLBHI yang memiliki cabang di berbagai kota besar, banyak memberikan bantuan hukum terhadap rakyat yang mengalami kekerasan struktural dari negara. Bantuan yang diberikan berupa pendampingan secara langsung selama berperkara di pengadilan. Walhi, dengan jaringan LSM di berbagai daerah, melakukan advokasi dalam isu-isu lingkungan hidup.
            Dalam diskusi-diskusi tak resmi itu, muncul kegelisahan tentang pola advokasi dan penanganan kasus yang pernah ditangani. Mereka yang terlibat aktif dalam diskusi ini memang orang-orang yang yang memiliki rekam jejak cukup lama di dunia LSM. Ada Direktur YLBHI Abdul Hakim Garuda Nusantara, anggota Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Asmara Nababan, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Hadimulyo, aktivis Walhi Sandra Yati Moniaga, dan Sekretaris INFID Agustinus Rumansara.[9]
            Ada dua hal yang menjadi tema kegelisahan di antara mereka. Pertama, belum ada LSM yang fokus pada studi terhadap kebijakan yang berdampak pada pelaksanaan hak asasi manusia. Kedua, belum ada LSM yang fokus pada kegiatan pendidikan HAM yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban kebijakan yang tak ramah terhadap HAM. Saat itu memang tidak banyak LSM yang melakukan advokasi terhadap kebijakan pembangunan (policy advocacy) karena banyak LSM yang masih fokus pada penanganan kasus.
            Setelah beberapa kali pertemuan, idenya mengerucut pada kesimpulan tentang perlunya suatu lembaga yang setidaknya menjalankan dua fungsi. Pertama, melakukan kajian pada kebijakan-kebijakan dan prgram pembangunan yang berdampak langsung pada HAM, khususnya hak sipil, politik, dan ekonomi. Kedua, melakukan kegiatan pendidikan HAM kepada kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban dari kebijakan pembangunan.
            Siklus kegiatan dari lembaga baru itu haruslah sebuah studi kebijakan, lalu hasilnya dijadikan dasar untuk melakukan advokasi. Ia harus disuarakan melalui penerbitan dan dibawa dalam forum-forum lobi, entah untuk pemerintah, DPR, atau instansi lainnya. Hasil studi ini nantinya juga bisa digunakan untuk bahan pendidikan HAM bagi masyarakat. Kegelisahan dan kristalisasi ide itu berujung pada pembentukan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
            Lembaga baru ini menggariskan tiga hal sebagai tujuan pendiriannya. Pertama, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan peran serta rakyat dalam pembangunan untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Kedua, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan penghormatan terhadap HAM. Ketiga, mengupayakan pembaruan hukum dan kebijakan yang tanggap dan berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan demokrasi serta kepentingan masyarakat.
            Dalam benak para pendiri Elsam, cita-cita besar dalam pendirian lembaga ini adalah mendorong terciptanya negara hukum yang demokratis. Juga memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak asasi manusia warga negaranya. Dalam implementasinya di lapangan, ini harus terwujud dalam sistem hukum dan kinerja aparat yang memberikan perlindungan memadai terhadap hak-hak sipil masyarakat, dengan memberikan perlindungan dari kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan, termasuk dalam bidang ekonomi.
              Masuk ke pembahasan mengenai peran yang dilakukan Elsam kita harus mengenal terlebih dahulu bahwa berbeda dengan NGO HAM Internasional, NGO HAM di Indonesia harus berhadapan dulu dengan “masalah struktural” yang melilit negeri ini, seperti kemiskinan, konflik etnis, konflik agama, korupsi, utang luar negeri, demokratisasi sistem politik, sampai degradasi lingkungan. Dalam konteks ini, strategi dan taktik NGO HAM di Indonesia sangat berbeda dengan NGO Internasional yang lebih fokus pada pelanggaran individual. NGO HAM di sini melihat pelanggaran hak asasi dalam konteks “masalah strukturak” tersebut. Apalagi, isu hak asasi manusia masih dilihat sebagai “western value” oleh banyak masyarakat Indonesia.  Berikut beberapa proyek yang dilakukan Elsam dalam memperjuangkan penegakan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia.
           
Kedung Ombo
            Salah satu studi penting Elsam pada masa-masa awal kelahirannya adalah tentang pelanggaran HAM dalam proyek pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Proyek ini dimulai tahun 1985, yang menuntut pembebasan lahan yang cukup luas di daerah Kedung Ombo. Proyek yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengamanan dan pengendalian banjir di Jateng ini membutuhkan areal kurang lebih 5.898 hektare, yang terdiri dari lahan 1.500 tanah perhutani, 730 sawah, 2.655 tanah tegalan, 985 hektare tanah pekarangan dan 30 hektare tanah kuburan. Daerah yang akan kena proyek ini meliputi beberapa desa di Kecamatan Kemusu, Boyolali. Sebagian lahan yang harus dikosongkan juga berada di Kecamatan Miri dan Sumber Lawang, Sragen. Selain itu, juga ada satu Kecamatan di Kabupaten Grobogan yang terkena proyek ini. Total akan ada 20 desa yang efektif bakal ditenggelamkan untuk pembangunan waduk ini.[10]
            Hasil studi Elsam, yang dilakukan bersama Lawyer Committee for Human Rights, menemukan banyak kasus pelanggaran HAM dalam pelaksanaan program tersebut. Setidaknya dua pelanggaran HAM yang ditemukan disana. Pertama, tidak adanya musyawarah yang dilakukan pemerintah dalam proses pembebasan lahan. Dalam penentuan harga, pemerintah secara sepihak menetapkan harga tanpa mendengar masukan dari masyarakat. Kedua, intimidasi dan teror terhadap warga yang tidak bersedia menerima ganti rugi, serta tidak mau mengikuti tawaran pemerintah untuk ikut program transmigrasi. Warga yang bertahan ini diberi label pembangkang dan dicap sebagai anggota PKI.
            Dalam kampanye di panggung internasional, Elsam difasilitasi oleh Lawyers committee for human rights dan International Rivers Network. Awal kampanye Elsam itu dimulai dengan mengirimkan delegasi untuk bertemu dan menyampaikan hasil studi kepada perwakilan Bank Dunia di Washington DC Amerika Serikat, akhir 1995. Wakil Elsam dalam pertemuan itu adalah Abdul Hakim Garuda Nusantara, Asmara Nababan, dan Ifdhal Kasim. Kepada wakil Bank Dunia, delegasi Elsam meminta agar lembaga keuangan internasional itu juga harus memberikan tekanan pada adanya keadaan tertentu yang dipersyaratkan saat memberi pinjaman kepada Indonesia. Elsam meminta bahwa proyek tersebut harus juga memperhatikan dimensi hak asasi manusia.
            Elsam juga meminta agar Bank Dunia menaikkan harga ganti rugi lahan yang akan diberikan pada warga. Hal ini disebabkan, harga ganti rugi yang diberikan kepada warga sangatlah rendah. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tertanggal 25 Agustus 1986 tentang Pedoman Penetapan Besarnya Ganti Rugi Pelaksanaan Pembebasan Tanah Proyek Kedung Ombo, harganya diatur dengan ketentuan: tanah sawah kelas I Rp. 380 per meter persegi, tanah tegalan kelas II Rp. 250 per meter persegi, tanah pekarangan Rp. 633 per meter persegi.
            Dalam pertemuan itu, Bank Dunia bersikukuh bahwa dampak sosial yang timbul dari pelaksanaan proyek menjadi kewajiban pemerintah Indonesia sebab itu masuk dalam tugas pemerintah kita. Bank Dunia hanya bertanggung jawab untuk masalah konstruksi saja, persoalan implikasi sosial adalah urusan pemerintah Indonesia. Delegasi Elsam mempertanyakan alasan ini karena proyek tersebut dibiayai Bank Dunia sehingga lembaga tersebut mmepunyai kewajiban untuk mendesak pemerintah Indonesia melaksanakan proyeknya, termasuk soal pemindahan orang (transmigrasi) dalam kasus Kedung Ombo, sesuai kebijakan Bank Dunia.
            Kampanye internasional dalam kasus ini mengundang kearahan pemerintah. Pada 15 November 1993, usai bertemu Presiden Soeharto, Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita mengatakan kepada pers bahwa ada LSM yang mencoba berkampanye agar pihak donor mengurangi, bahkan menghentikan bantuannya kepada Indonesia. Menurutnya, kampanye tersebut dilakukan melalui penyebaran informasi bohong kepada pihak-pihak asing di luar negeri. Di dalam negeri, tudingan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita menimbulkan kehebohan. Elsam, sebagai LSM yang disebut secara tak langsung dalam soal ini, membuat klarifikasi. Dalam pernyataan persnya, Direktur Elsam Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan hasil studi lembaganya tidak pernah merekomendasikan agar Bank Dunia menghentikan bantuannya untuk Indonesia.
            Akhirnya, Ginandjar Kartasasmita mengundang wakil-wakil dari LSM pada tanggal 20November 1995. Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung selama tiga jam tersebut, hadir sejumlah tokoh LSM, termasuk Abdul Hakim Garuda Nusantara. Dalam pertemuan itu, Ginandjar mengatakan, yang prinsip bagi pemerintah adalah semua informasi yang disampaikan harus sesuai kebenaran. Fakta-fakta dalam negeri dapat digunakan di dalam negeri untuk memperbaiki kebijakan dalam negeri. Membawa fakta-fakta itu ke luar negeri merupakan hal yang kontra produktif karena dapat menurunkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara atau pemerintah atas usaha-usaha mereka saat ini.
            Kasus itu memang cukup menghebohkan, sebab tuduhan terhadap LSM yang dianggap berkeinginan menggagalkan bantuan merupakan masalah serius sehingga ditanggapi secara hati-hati. Terlepas dari kontroversi itu, studi Elsam untuk masalah Kedung Ombo ini membawa perubahan bagi pelaksanaan proyek itu. Sebagian warga Kedung Ombo mendapat ganti rugi yang lebih layak dan Bank Dunia juga menghentikan bantuan pembangunan dam besar di Indonesia, serta pendekatan yang bersifat keamanan (security approach) sudah mulai berkurang.
Hanya saja, hasil akhir dari perjuangan warga Kedung Ombo melalui jalur pengadilan tak membuahkan hasil. Pengadilan Negeri Semarang menolak gugatan warga Kedung Pring pada 20 Desember 1990. Pengadilan Tinggi Semarang juga bersikap sama, dalam sidang 9 April 1991 gugatan itu tetap ditolak. Angin baik berhembus dari Mahkamah Agung, dalam putusan tanggal 28 Juli 1993 majelis hakim kasasi yang terdiri dari Prof. Asikin Kusuma Atmadja, H. AM. Manrrapi, dan RL Tobing memenangkan warga. Namun, kemenangan warga itu tak berlangsung lama. Dalam sidang peninjauan kembali, 29 Oktober 1994, MA membatalkan kemenangan itu dan mengakhiri harapan warga korban proyek Kedung Ombo untuk bisa menikmati ganti rugi yang layak.[11]

Security Approach
            Pemberitaan media massa pada tahun 1990-an diwarnai cukup banyak berita kekerasan, intimidasi, dan penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil.  Kekerasan itu terjadi di dalam maupun di luar proses hukum, yang biasanya terkait sikap oposisi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah atau implikasi pembangunan. Aneka macam kekerasan itu berada pada taraf yang sangat memprihatinkan. Elsam mencatat banyak sekali penggunaan metode penyiksaan dan eksekusi langsung di luar proses hukum. Kasus-kasus ini merupakan salah satu contoh bagaimana pedekatan keamanan (security approach) sangat mengemuka di masa Orba.
            Ada 10 kasus yang menjadi objek studi Elsam, kasus-kasus itu adalah: Operasi Jaring Merah di Aceh; Kasus Tanah Sei Lepan; Kasus HKBP di Medan; teror dan penyiksaan paksa aksi buruh; pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur; intervensi ke pengadilan dalam kasus pembunuhan Marsinah; penembakan di Nipah, Sampang, Madura; pemberian stigma PKI dalam kasus Kedung Ombo; Operasi bersih menghadang pengunjuk rasa; dan pembunuhan di Liquica, Timor Timur.[12]
            Dari kasus-kasus diatas, Elsam memetakan pola kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara, yang biasanya terkait dengan upaya menjaga stabilitas untuk memuluskan pembangunan. Secara umum, penyiksaan biasamya diawali dengan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat tindak pidana, politik, maupun kriminal. Teknik penyiksaan paling standar selama proses interogasi adalah intimidasi yang disertai pukulan atau tendangan. Korban pun biasanya dipaksa untuk mengakui segala yang dituduhkan kepadanya. Hal ini menunjukkan netapa lemahnya posisi warga masyarakat ketika berhadapan dengan aparat koersif yang berlindung di balik otoritas negara.
            Hasil studi Elsam menyimpulkan, dominasi militer melalui doktrin dwifungsi ABRI dalam pengelolaan berbagai persoalan kemasyarakatan membuka peluang besar terjadinya tindak kekerasan dan penyiksaan tersebut. Melalui lembaga yang bernama Bakorstanas, militer memiliki kewenangan melampaui polisi dan jaksa. Kenyataan ini juga diperburuk dengan tidak memadainya sistem hukum nasional dalam mengantisipasi pelanggaran berat terhadap hak hidup oleh pejabat publik.
            Dalam rekomendasinya, hasil studi Elsam menyarankan beberapa hal. Dua yang terpenting adalah: pertama, meninjau kembali pendekatan keamanan yang selama ini menjadi penyangga stabilitas. Sebab, stabilitas yang diperoleh dengan cara menyebarkan rasa takut di tengah masyarakat adalah stabilitas yang semu. Kedua, mendorong pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi PBB tahun 1984 tentang “Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Lainnya”.[13]
            Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat, setidaknya ada empat alasan mengapa pemerintah perlu segera meratifikasi konvensi PBB tersebut. Pertama, isi konvensi tersebut sangat relevan untuk menjawab kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan pejabat publik, seperti polisi, ABRI, dll yang masih sering terjadi ketika itu. Kedua, nilai-nilai yang terkandung dalam konvensi tersebut amat sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, isi konvensi tersebut akan menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang ada dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan hukum pidana (KUHP) yang sekarang berlaku. Keempat, sejak tanggal 23 Oktober 1985 Indonesia telah menandatangani konvensi PBB menentang penyiksaan.

Kasus Papua dan Timor Timur
             Kasus pelanggaran HAM di Papua (dulu Irian Jaya) dan Timor Leste (dulu Timor Timur) ini merupakan kasus pelanggaran HAM yang sangat besar eksesnya. Bahkan, Timor Timur sekarang sudah merdeka dan mendeklarasikan negara Timor Leste. Pelanggaran HAM yang terjadi di dua daerah ini memang bukan terjadi karena diawali  penentangan atau sikap oposisi dari warganya terhadap pemerintah pusat, tetapi lebih karena pemerintah pusat memiliki kepentingan terhadap daerah-daerah ini yang dikenal memiliki sumber daya alam melimpah. Selain karena ingin mengeruk SDA-nya untuk kepentingan pusat, Papua dan Timor Timur juga dijadikan semacam daerah militer oleh Orba. Ini terlihat dari banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer disana, yang memang punya kepentingan mengamankan bisnis “eksploitasi SDA” yang syarat kepentingan, tidak hanya kepentingan Jakarta, tapi juga negara-negara asing.
            Persingguhan awal Elsam dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di daerah ini adalah melalui pelatihan HAM selama tiga hari di Jayapura. Pesertanya adalah warga yang pernah menjadi korban pelanggaran HAM, termasuk Tom Beanal. Advokasi awal Elsam di Papua melibatkan perusahaan multinasional Freeport McMoran Copper and Gold, Inc., yang berkantor pusat di New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.
            Salah satu kasus besar di Papua yang diadvokasi Elsam adalah laporan tentang kasus pelanggaran HAM yang disampaikan Uskup Mgr. H.F.M. Munninghoff. Dalam laporan setebal 26 halaman itu, tokoh gereja Katolik itu membuka mata Jakarta dan dunia tentang pelanggaran HAM di Timika, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya. Laporan Munninghoff itu mencatat 17 penduduk sipil tewas, empat orang hilang, dan 48 orang ditangkap, ditahan, dan dianiaya dari kurun waktu 6 Oktober 1994 sampai 31 Mei 1995. Laporan Munninghoff itu memancing perhatian nasional. Akhirnya Komnas HAM turun tangan dan melakukan investigasi di Timika, Irian Jaya. Komnas HAM lalu menyatakan ada 16 warga yang terbunuh dan empat penduduk lainnya yang ditahan, sampai hari ini tidak diketahui keberadaannya. Warga tak puas dengan penanganan yang dilakukan Komnas HAM karena mereka tidak memasukkan peran penting PT Freeport Indonesia dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
            Akhirnya warga Amungme, yang diwakili Tom Beanal, memilih jalur pengadilan untuk menggugat PT Freeport secara hukum. Tak tanggung-tanggung, langsung ke pengadilan New Orleans di wilayah Timur Louisiana, Amerika Serikat karena kantor pusat PT Freeport berada disana. Gugatan diajukan pengacara Martin Regan dari Regan, Manasseh & Boshea Law Firm.[14] Elsam aktif terlibat dalam proses pengajuan gugatan dan persidangan kasus ini. Staf dan pengacara Elsam, Aderito de Jesus Soares, menjadi asisten pengacara untuk gugatan warga Amungme kepada PT Freeport di New Orleans.
Dalam berkas gugatannya, PT Freeport dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap suku Amungme dan suku pribumi lainnya, serta melakukan pencemaran lingkungan. Gugatan itu dihadapi Freeport dengan membujuk warga menerima 1 % Trust Fund Freeport. Warga menolak karena menganggapnya sebagai upaya Freeport, ABRI, dan pemerintah untuk mencuci tangan dari masalah pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.
            Kasus ini berakhir dengan adanya kesepakatan antara warga Amungme, yang diwakili Tom Beanal, dengan PT Freeport Indonesia. Ia mendapat pembagian keuntungan 1 % per tahun dari perusahaan tambang itu. PT Freeport juga membayar ganti rugi dan menjadikan kepala suku, Tom Beanal, sebagai komisaris perusahaan tersebut.[15]
            Masuk ke kasus Timor Timur, insiden berdarah di Santa Cruz pada 12 November 1991 memancing sorotan mata internasional akan apa yang terjadi di Timor Timur. Insiden ini bermula dari demonstrasi yang dilakukan mahasiswa terhadap pemerintah Indonesia saat penguburan Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh tentara Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, serta gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Tentara Indonesia menembaki para demonstran yang mengakibatkan 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Insiden Santa Cruz.
            Persingguhan Elsam dengan Timor Timur bermula dari banyaknya kasus pelanggaran HAM di daerah tersebut pasca insiden Santa Cruz. Karena kondisi yang tertutup, tak mudah masuk ke Timor Timur. Waktu itu, Elsam membangun jaringan melalui pastor di Papua. Sekitar tahun 1994, Elsam menyelenggarakan pelatihan di Papua, dengan mengundang peserta dari Timor Timur. Setelah pelatihan tersebut, Elsam memiliki kontak jaringan dengan LSM di daerah tersebut.
            Elsam juga mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM di daerah ini. Pada 14 Januari 1998, Elsam meminta Komnas HAM untuk melakukan investigasi mengenai pelanggaran HAM oleh ABRI di Atabae, Timor Timur. Dalam suratnya, Elsam menyatakan bahwa pihaknya pada 14 November 1997 telah menerima laporan dari Yayasan Hukum Hak Asasi dan Keadilan (Yayasan HAK), Dili. Laporan tersebut mengenai sejumlah pelanggaran HAM yang tergolong dalam Gross Violation of Human Rights atau pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat keamanan terhadap sejumlah penduduk sipil di Kecamatan Atabae, Kabupaten Bobonaro, Timor Timur pada 4 Januari 1998.
            Pasca mundurnya Presiden Soeharto tahun 1998 dan terbitnya era reformasi, pemerintah Indonesia dibawah Presiden Habibie pada 27 Januari 1999 mengeluarkan dua opsi menyangkut masa depan Timor Timur. Pilihannya adalah menerima atau menolak otonomi khusus. Hasilnya dari 438.968 suara sah, 344.580 suara (78,2 %) memilih merdeka dan 94.388 suara (21,8 %) memilih integrasi. Setelah pengumuman dikeluarkan, terjadilah kerusuhan dan pembumihangusan di daerah tersebut.
            Masyarakat nasional maupun internasional sangat prihatin dengan situasi yang terjadi di Timor Timur. Bahkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada pemerintah indonesia dan Komnas HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia akan diadili. Resolusi tersebut juga meminta kepada Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional, serta mengirimkan pelapor khusus tematik ke Timor Timur.
            Hasil penyelidikan Komnas HAM itu ditindaklanjuti dengan penuntutan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Sebelum Kejagung memulai penyelidikannya, Jaksa Agung Marzuki Darusman meminta LSM terlibat sebagai tim ahli, salah satunya adalah Elsam. Hasil itu kelar awal tahun 2001 dan mulai diadili di Pengadilan HAM ad hoc pada 21 Februari 2001. Elsam melakukan monitoring secara intensif saat persidangan berlangsung. Elsam juga memfasilitasi pelatihan hakim ad hoc HAM tentang unsur-unsur tindak pidana pelanggaran HAM berat dan pertanggungjawaban komando.
            Usai persidangan, Elsam membuat laporan sangat komprehensif tentang pelaksanaan pengadilan terhadap para pelanggar HAM tersebut. Dalam laporan berjudul “Kegagalan Leipzig Terulang di Jakarta: Catatan Akhir Pengadilan HAM ad hoc Timor Timur”, Elsam memaparkan sejumlah kelemahan-kelemahan dalam dakwaan yang disusun jaksa.[16] Selain itu, Elsam juga mencatat bahwa jaksa dalam merumuskan dakwaan juga tidak cermat, proses pembuktiannya juga terkesan apa adanya.
            Dalam kesimpulan kajiannya, Elsam menilai jaksa yang mewakili kepentingan umum (termasuk para korban) guna menuntut para pelaku kejahatan yang serius itu jelas sekali tidak menerapkan prinsip “prosecutions are to be undertaken in good faith and with due diligence” yang telah menjadi standar universal. Hal ini tampak jelas dari proses perumusan dakwaan yang sumir, pengajuan alat-alat bukti dan saksi yang tidak maksimal, dan ketiadaan eksplorasi yang gigih dari jaksa. Dapat dikatakan bahwa ada intensi yang tersembunyi untuk tidak menuntut para tersangka dengan adil. Dengan kualitas dakwaan dan pembuktian seperti itu, maka majelis hakim menghadapi materi yang sangat terbatas untuk menentukan kesalahan para terdakwa.
            Pemerintah Indonesia dan Timor Timur sebenarnya juga menggunakan jalur politik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM ini melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Komisi ini tidak bertujuan menjebloskan mereka yang terlibat pelanggaran HAM ke penjara, tetapi untuk memperkuat rekonsiliasi dan persahabatan Indonesia dengan Timor Timur (Timor Leste kemudian). Hasil akhir dari kerja KKP ini sudah bisa diduga. Meski menemukan sejumlah pelanggaran HAM berat, KKP hanya merekomendasikan kedua negara untuk memberikan pengakuan melalui ungkapan penyesalan dan permintaan maaf resmi, serta berkomitmen untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, dan berupaya menyembuhkan luka masa lalu.[17]
Hasil kerja komisi ini diserahkan KKP kepada kedua kepala pemerintahan di Bali, 15 Juli 2008. Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda mengatakan, dengan rekomendasi ini kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dinyatakan selesai. Tetapi, sejumlah aktivis LSM berpendapat lain. Mereka menilai rekomendasi itu tidak lantas membuat para pelakunya tak bisa diadili. Masih ada mekanisme lain yang bisa ditempuh untuk membawa para pelanggar HAM itu ke meja hijau dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tantangan di Era Reformasi
            Awal tahun 1998 adalah senja bagi kekuasaan Orba. Setelah berkuasa selama 32 tahun, rezim ini pun takluk oleh hantaman badai politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Presiden Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, lalu menyerahkan tahtanya kepada sang wakil, BJ Habibie. Perubahan yang bisa dibilang berlangsung cukup cepat itu mengagetkan banyak kalangan, termasuk kalangan LSM yang di masa Orba bergerak dalam isu hak asasi manusia atau bantuan hukum struktural.[18] LSM di era baru ini harus merumuskan kembali agenda bersama untuk mengisi transisi demokrasi setelah rezim otoritarian berganti.
            Bagi Elsam, Orde Reformasi menyediakan tantangan tersendiri. Reorientasi pun dilakukan mengingat pemerintah yang dihadapi tak lagi otoriter seperti sebelumnya. Sejak pertengahan 1999, agenda Elsam didominasi oleh upaya reformasi hukum dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu diabnding keterlibatan dalam kasus-kasus baru. Program-program itu berada dalam kerangka mengisi suatu tatanan demokrasi. Dalam beberapa kasus, peluang untuk pengungkapan kasus-kasus di masa lalu itu memang mendapat angin baru di bawah pemerintahan rezim reformasi yang mulai demokratis.
            Akan tetapi, peluang yang sangat terbuka itu juga merupakan tantangan tersendiri. Sebab, ini merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam situasi seperti ini, aktivis LSM ditantang untuk tidak lagi berteriak dari luar lapangan. Dalam beberapa hal, mereka harus masuk dan terlibat sendiri. Hanya saja itu membutuhkan kemampuan tersendiri, yang belum tentu dimiliki semua aktivis hak asasi manusia. Kemampuan investigasi dan pengetahuan forensik merupakan hal dasar yang minimal harus dikuasai aktivis LSM untuk bisa terlibat dalam upaya penuntasan kasus-kasus HAM masa lalu.
            Untuk memenuhi kebutuhan itu, Elsam menerbitkan dua buku manual tentang investigasi pelanggaran HAM. Pertama, Menelusuri Jejak Menyingkap Fakta: Panduan Investigasi Pelanggaran HAM, yang diterbitkan Elsam tahun 1999 bekerjasama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). Kedua, buku bertema sama dengan judul Mengungkap Fakta: Buku Saku Panduan Investigasi Pelanggaran HAM yang diterbitkan tahun 2001.
            Satu hal yang juga perlahan berubah setelah reformasi adalah hubungan antara pemerintah dengan LSM. Setelah 1998, secara perlahan hubungan keduanya mulai membaik dan bisa bekerjasama, walau masih terbatas akan isu tertentu saja. Sikap pemerintah yang mulai akomodatif terhadap aspirasi rakyat disambut dengan upaya advokasi yang lebih optimal pula. Dilibatkannya Elsam dalam penyusunan rancangan undang-undang, serta kerja-kerja ad hoc dalam penanganan kasus adalah salah satu indikasi membaiknya hubungan antara mereka. Elsam juga mulai terlibat dalam advokasi kebijakan untuk menggolkan UU Pengadilan HAM, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
            Berubahnya pola hubungan ini juga ditandai dengan berhasil masuknya Elsam dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan negara yang berhubungan dengan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Contohnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam kasus Timur Timor wakil Elsam diminta Kejagung menjadi tim ahli dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum dan sesudah jajak pendapat.  Wakil Elsam juga dilibatkan dalam beberapa tim yang dibentuk Komnas HAM dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, salah satunya adalah Tim Penyelidikan Kasus Orang Hilang.
            Dengan visi sebagai lembaga studi dan advokasi, Elsam mengisi ruang demokrasi yang diberikan alam reformasi dengan menyodorkan sejumlah agenda yang harus diselesaikan oleh pemerintah di era transisi ini. Melalui program transitional justice, Elsam menawarkan sejumlah solusi untuk menuntaskan kasus-kasus masa lalu. Elsam mengusung isu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, selain pengadilan hak asasi manusia ad hoc, serta kampanye anti kekerasan, sampai beberapa tahun sesudahnya.
            Di bawah bendera program ini, Elsam menyelenggarakan pemantauan isu dan studi HAM, membuat penerbitan dan pelayanan hukum. Hasil pemantauan diterbitkan secara reguler, melalui buku-buku, buletin Asasi, Jurnal Dignitas, dll. Diharapkan program ini dapat membantu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang bola panasnya sekarang ada di pemerintahan transisi. Hanya saja, terkadang upaya pemerintah dirasa masih kurang optimal. Walaupun dalam konteks keberadaan undang-undang , katakanlah seperti lahirnya UU KKR, sudah cukup terakomodasi, tetapi dari sisi implementasi penegakan hukumnya masih seperti macan ompong, alias tak bergigi.

Agenda HAM di ASEAN
            Sejak berdirinya, 8 Agustus 1967, isu HAM bukanlah sebuah major element bagi ASEAN. Baru memasuki era 1990-an, ASEAN menyadari bahwa mereka harus memiliki pendekatan bersama tentang HAM, serta berpartisipasi aktif dalam pemajuan dan perlindungan HAM di wilayahnya. Harapan muncul ketika ASEAN Charter ditandatangani tahun 2007. Piagam ini menjadi dasar pembentukan ASEAN Community tahun 2015 dengan tiga pilar utama, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Socio Cultural Community, dan ASEAN Economic Community. Sebagai konsekuensi dari ditandatanganinya ASEAN Charter, salah satu pasalnya yaitu Pasal 14, menyerukan dibentuknya Badan Hak Asasi Manusia ASEAN.
            Indonesia di ASEAN cukup dikenal berperan aktif dalam upaya-upaya pemajuan, penegakan, dan advokasi HAM. Para diplomat kita selalu tegas dalam membawa isu HAM di tingkat regional, maupun internasional mewakili ASEAN. Peran Indonesia juga signifikan, khususnya dalam mendorong ASEAN membentuk komisi hak asasi manusia, yang bernama ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada 23 Oktober 2009 di Hua Hin, Thailand.[19] Akan tetapi, bagaimanapun Indonesia memiliki kepentingannya sendiri dalam hal ini. Prioritas Indonesia lebih kepada hal-hal yang sejalan dengaan tema Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011, yaitu memastikan terjadinya kemajuan signifikan dalam mewujudkan Komunitas ASEAN; memastikan arsitektur regional dan lingkungan regional tetap kondusif bagi pembangunan; dan memulai pembahasan mengenai visi ASEAN pasca 2015, yakni Komunitas ASEAN di tengah Komunitas Global.
            Setidaknya terdapat dua prioritas yang membutuhkan peran aktif Indonesia. Pertama, pengesahan tata cara atau prosedur AICHR dalam mejalankan tupoksinya. Proses ini mengalami permasalahan karena terdapat aturan tentang interaksi AICHR dengan pihak-pihak yang terkait dengan ASEAN, khususnya dengan masyarakat sipil, yang masih mengalami penolakan oleh beberapa negara anggota ASEAN, seperti Myanmar yang ditenggarai bermasalah dengan HAM.
Indonesia sebenarnya mampu meraih dukungan Filipina, dan Thailand untuk kasus ini, tetapi karena mekanisme decision making harus melalui konsensus, maka negara-negara lainnya yang tidak setuju selalu menjadi stumbling block bagi pengesahan aturan-aturan ini. Keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam setiap aspek ASEAN, khususnya dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, menjadi elemen vital bagi implementasi Komunitas ASEAN 2015. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini harus menekankan pada pentingnya pembentukan Komunitas ASEAN yang berorientasi dan berpusat pada masyarakatnya.
Kedua, berangkat dari kerangka acuannya, AICHR dimandatkan untuk menyusun sebuah Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN yang bertujuan membangun kerangka kerja sama hak asasi ASEAN dan instrumen-instrumen HAM lainnya. Indonesia harus mampu membujuk negara-negara anggota ASEAN yang selama ini resisten terhadap formalisasi konsep HAM di ASEAN untuk menerimanya sebagai bagian dari Komunitas ASEAN. Pemerintah juga berkewajiban memastikan bahwa deklarasi tersebut memuat prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi universal.
Akan tetapi, di sisi lain kita sering disuguhkan sebuah realitas politik bahwa komitmen ASEAN dalam penegakan HAM hanya menjadi bagian kecil dari salah satu aspek utama Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN, yaitu aspek political development. Jika HAM kembali bersingguhan dengan spektrum politik, maka upaya-upaya penegakan dan perlindungannya pun menjadi sekedar komoditas politik saja, serta hanya mempunyai level of compliance yang rendah. Walaupun sebenarnya usulan diterapkan Confidence Building Measures (CBM) di tiga pilar ASEAN dapat membawa transparansi tersendiri di bidang HAM, jadi negara yang selama ini terkesan menyembunyikan (conceal) pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka lakukan, mau tidak mau harus mentransparansikannya kepada ASEAN. Otomatis publik pun bisa melakukan assessment terhadap kasus-kasus HAM di semua negara anggota ASEAN, dengan dalih transparansi publik.
Menilik Indonesia yang menjadi Ketua ASEAN 2011 ini, kelihatannya hak asasi manusia tidak akan menjadi agenda besar yang dibawa Indonesia ke level regional tersebut. Isu itu akan kembali menguap seiring dengan konsentrasi ASEAN yang tampaknya akan lebih kepada sektor keamanan dan ekonomi. Padahal, pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN merupakan parameter yang sesuai untuk memastikan terwujudnya Komunitas ASEAN. Seharusnya dengan adanya AICHR, kepemimpinan Indonesia di ASEAN dapat menjadi momen penting bagi realisasi agenda-agenda HAM. Kita juga harus dapat memainkan posisi strategis sebagai Ketua ASEAN untuk menempatkan diri kita sebagai garda terdepan dalam upaya-upaya penghormatan dan penegakan HAM di Asia Tenggara.

Penutup
Sebagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu HAM, pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai adalah menyelesaikan tumpukan kasus pelanggaran HAM yang masih macet penyelesaiannya. Hingga 2010, setidaknya ada empat kasus besar pelanggaran HAM yang penyelesaiannya masih jalan di tempat, meski penyelidikannya sudah dirampungkan Komnas HAM. keempatnya adalah kasus Trisakti dan Semanggi I-II, penculikan 1997/1998, kerusuhan Mei 1998, dan penembakan Wamena-Wasior. Pangkal kemacetannya adalah kurangnya kemauan politik pemerintah untuk menuntaskannya. Selama ini, Kejagung menggunakan alasan formil untuk mengembalikan berkas penyelidikan kasus itu ke Komnas HAM, yang mengakibatkan kasus ini seperti digantung.
            Cerita kurang menggembirakan tentang situasi HAM ini tampaknya dipengaruhi oleh perkembangan internasional yang dianggap kurang berpihak pada isu-isu HAM. Pada 17-18 Mei 2005, Elsam mengadakan lokakarya Pemetaan Inisiatif Advokasi HAM Masyarakat Sipil Indonesia. Dalam pemetaannya, lokakarya menemukan sejumlah problem baru yang dihadapi Indonesia pasca lengsernya Soeharto. Pertama, perkembangan politik internasional pasca serangan 11 September 2001. Hantaman dua pesawat komersial ke gedung WTC di New York itu mengubah konstelasi dunia yang sebelumnya sudah mulai getol mengusut pelanggaran HAM.
            Pasca serangan itu, fokus dunia internasional bergeser ke perang melawan terorisme sehingga agenda pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM juga otomatis tergeser. Dengan alasan melindungi kepentingan nasional, mulai terjadi pengekangan terhadap hak sipil masyarakat. Di Indonesia, dampak dari kejadian itu juga terasa. Insiden 9/11 menguatkan kembali keterlibatan intelijen dan militer untuk melindungi negara, yang mana secara tidak langsung membuat pengusutan kasus pelanggaran HAM mereka di masa lalu cenderung diabaikan.
            Kedua, dampak liberalisasi perdangangan. Dalam bidang ekonomi, perkembangan internasional yang juga berdampak langsung dengan kondisi Indonesia adalah pemberlakuan pasar bebas. Ekses dari free trade ini adalah bertambahnya jumlah penduduk miskin di dunia, terutama di Asia dan Afrika, karena tidak mampu bersaing di pasar global. Indonesia cenderung mengakibatkan kebijakan ekonomi neoliberal, yaitu dengan melakukan kebijakan privatisasi sumber-sumber ekonomi dan menjustifikasi pencabutan subsidi untuk kelompok kecil dan menengah, seperti nelayan, petani, masyarakat, dan kelompok urban, bahkan melimitasi akses rakyat kepada fasilitas publik.
            Sebagai lembaga yang mempunyai rekam jejak cukup panjang dalam advokasi isu-isu HAM, Elsam dinilai memiliki modal yang cukup besar untuk memainkan peran penting dalam mengisi periode transisi menuju demokrasi ini. Namanya dianggap memiliki trademark dalam isu-isu HAM. Selain itu, keterlibatan anggotanya dalam institusi yang bergelut di bidang ini kian mentahbiskan kredibilitasnya. Selain itu, Elsam juga dapat menjadi aset jaringan serta pintu masuk untuk “mempopulerkan” isu HAM di tengah masyarakat dan mendorong institusionalisasi HAM di lembaga-lembaga negara.
Elsam memang tidak berperan dalam upaya-upaya penegakan hak asasi manusia maupun demokrasi di tingkat ASEAN, akan tetapi peran Elsam dalam mempromosikan dan memperjuangkan HAM dan demokrasi di Indonesia dilihat oleh dunia internasional sebagai citra yang positif bagi Indonesia pasca rezim otoriterian tumbang. Secara tidak langsung, iklim hak asasi di Indonesia yang mulai membaik, ditambah dengan kesungguhan pemerintah di Orde Reformasi ini untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu, membuat peran Indonesia di tingkat regional semakin besar, khususnya untuk isu-isu HAM.
Sebagai contoh, pemerintah Swedia pada tahun 2008, melalui Menteri Luar Negeri Carl Bildt, sangat menghargai kemajuan yang dicapai oleh Indonesia dalam masalah perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia . Mereka melihat ada niat yang besar dari pemerintah Indonesia dalam hal ini dan Swedia ingin berbagi dan bertukar pengalaman dengan Indonesia dalam upaya-upaya penegakan HAM. Pemerintah Swedia juga mengapresiasi upaya Indonesia dan ASEAN untuk mendorong terjadinya demokratisasi di Myanmar. [20] Indonesia sebagai Ketua ASEAN, bahkan didesak oleh Asean Interparliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN apabila mereka tetap tidak bersikap demokratis, termasuk untuk isu HAM, dan menolak melakukan rekonsiliasi atas nama rakyat Myanmar.[21]
Dua contoh kasus ini sebenarnya membuktikan bahwa Indonesia di mata dunia internasional sudah cukup mampu membuktikan dirinya sebagai negara yang demokratis dan menjunjung tinggi implementasi hak asasi manusia. Kemampuan kita menjadi anggota Dewan HAM PBB juga menambah value tersebut. Walaupun memang, citra positif itu terpancar tidak sama antara bagaimana dunia luar dan bagaimana masyarakat kita (LSM termasuk di dalamnya) melihatnya.  Masih terdapat perpektif yang bias jika kita bicara HAM sebagai komoditi pencitraan dengan HAM sebagai sebuah nilai yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dioperasionalisasikan di tengah-tengah sebuah bangsa yang mengaku hidup di alam demokrasi.

             
           


[2] Franz Magnis-Suseno. 1999. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 30 – 66
[3] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[4] Robertus Robet. 2008. Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia. Jakarta: ELSAM. Hlm. 25-26.
[6] Ifdhal Kasim (ed). 1999. Membelenggu Kebebasan Dasar: Potret Tiga Kebebasan Dasar di Asia. Jakarta: Elsam. Hlm. 292.
[7] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. xvii.
[8] Sebelum menjadi INFID, organisasi ini awalnya bernama International Non Government for Indonesia (INGI). Tujuan pembentukan organisasi yang lahir tahun 1985 ini adalah untuk melakukan advokasi isu-isu hak asasi manusia dalam pembangunan di Indonesia melalui forum internasional.
[9] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. 12
[10] Atas Nama Pembangunan: Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. 1995. Jakarta: ELSAM dan Lawyer Committee for Human Rights. Hlm. 72.
[11] Perjalanan perjuangan warga Kedung Ombo dapat juga dibaca dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Budiman Tanuredjo. 1997. Dua Kado Hakim Agung Buat Kedung Ombo. Jakarta: Elsam. 
[12] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. 30.
[13] Konvensi ini akhirnya diratifikasi pada 28 September 1998 dan disahkan melalui UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.
[14] Lengkapnya lihat Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer. Jakarta: Elsam. Hlm. 170-194
[15] Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares. 2003. Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer. Jakarta: Elsam. Hlm. 196-197.
[16] Abdul Manan. 2008. Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM. Jakarta: ELSAM. Hlm. 49.
[17] Daan Bronkhorst. 2002. Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran di Berbagai Negara. Jakarta: Elsam. Hlm. xxvii
[18] Binny Buchori. 2004. Peta Permasalahan LSM, dalam “LSM: menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan”. Jakarta: Kompas. Hlm. 11.
 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space