Monday, February 7, 2011

Humanisme vs Barbarisme


Humanisme vs Barbarisme


            Masa depan perdamaian dunia kian menjauh. Berbagai upaya untuk menciptakan perdamaian hancur karena kesombongan, keserakahan, keangkuhan, dan tindakan tak beradab. Dengan dalih melanggar batas perairan internasional, Israel secara membabi-buta mengoyak kapal relawan Mavi Marmara sehingga tergolek lemas tak berdaya, lalu diseret ke Ashdod padahal mereka hanya mengangkut bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina di Gaza. Puluhan nyawa melayang dari kapal itu, semata-mata hanya karena “bertindak sebagai manusia” dengan membawa bantuan untuk warga Gaza yang terdzolimi. Israel yang sepertinya memang bukan bagian dari warga internasional, dengan pongahnya “memamerkan” kehebatan alat-alat perangnya untuk menghentikan kapal relawan, dan seakan tidak peduli akan aturan-aturan internasional manapun. Padahal, canggihnya armada tempur Israel juga adalah hasil “mengemis” pada AS.
            Minggu (6/6) kapal Rachel Corrie, yang namanya diambil dari aktivis asal AS yang mati-matian membela Palestina sehingga akhirnya betul-betul harus merelakan nyawanya diambil Israel tahun 2003 silam, dibajak oleh kapal-kapal perang Israel di perairan internasional untuk kemudian diseret ke Ashdod. Walaupun tidak ada kekerasan dan hilangnya korban jiwa, pembajakan kapal yang mengangkut misi kemanusiaan ke Gaza adalah sebuah tindakan pengecut dan tak berperikemanusiaan. Pemblokadean itu sendiri adalah bukti nyata bahwa Israel sebenarnya takut dengan kekuatan “intifada”, yang sekarang tidak hanya dilakukan rakyat Palestina, tapi juga rakyat dunia menentang kesewenang-wenangan Israel.
Tindakan Israel ini melampaui batas dan tidak bisa dibenarkan secara moral dan tentunya secara hukum. Perilakunya melanggar batas naluri bangsa berperikemanusiaan. Ini adalah sebuah ketidakadilan dan dunia harus bertindak menghentikan kekerasan ini serta juga melawan kekejaman Israel ini yang penulis analogikan sebagai sebuah tindakan savage atau tak beradab. Tidak bisa ada sekelompok manusia dengan alasan apapun membunuhi kelompok manusia lainnya di dunia ini.
Sudah selayaknya agresi Israel ini menyatukan umat manusia di dunia untuk bersama mengecam Israel dan mendukung rakyat Palestina agar bisa terbebas dari tindakan keji Israel ini. Warga dunia harus bersatu mendesak Israel untuk menghentikan blokadenya atas Gaza dan juga Israel harus mempertanggungjawabkan tindakannya terhadap kapal Mavi Marmara di hadapan mahkamah internasional. Tidak ada satu pun persoalan yang dapat diselesaikan dengan cara kekerasan. Setiap kekerasan akan hanya melahirkan penindasan dan penganiayaan.

Humanisme Poskolonialis
            Humanisme secara umum dapat diartikan sebagai istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Edward Said melihat humanisme sebagai sebuah kajian poskolonialisme, yang penulis rasa tepat untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi pada rakyat Palestina. Sederhananya poskolonialisme menurut Said terlihat dari cara pandang dunia barat terhadap dunia timur (kajian orientalisme) yang selama ini selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan.
Penguasaan dunia barat terhadap dunia timur terlihat dari cara pandang yang menganggap Timur sebagai "yang lain", baik itu karena bahasa, budaya, tradisi, dan segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Kemudian tidak berhenti sampai situ, dunia Barat menganggap "lainnya" Timur sebagai sesuatu yang bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan Barat yang "lebih maju". Bahkan, barat merasa dirinya “lebih beradab” daripada timur dengan melupakan local genius tiap-tiap kebudayaan.
            Perspektif humanisme poskolonialis yang dikembangkan Said bisa dijadikan alat untuk membongkar hegemoni dan dominasi paradigma positivis-logis gaya barat dalam membangun sebuah paradigma terhadap dunia timur. Tidak sampai disitu saja, humanisme poskolonialis Said sebenarnya ingin menegaskan bahwa konsep humanis haruslah mampu untuk melihat manusia sebagai manusia. Selama ini, kajian orientalis versi Samuel Huntington menganggap gaya barat yang berbasiskan positivism-logis selalu melihat dunia timur sebagai objek atau kelompok manusia yang berbeda dari konsep manusia yang tertanam dalam pikiran mereka. Gelombang pemikiran ini telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap timur, terutama dunia Islam. Caranya ialah dengan mengungkapkan kemunduran pola pikir dunia Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur dengan Barat.
Said ingin menegaskan warga negara dunia oriental adalah subjek pengetahuan juga, mereka adalah manusia yang sama memiliki rasio, sehingga oposisi biner gaya strukturalism dan perspektif ketergantungan karya pemikir-pemikir macam Raul Prebisch dan Paul Baran, yang menyatu dengan positivism-logis sudah selayaknya ditinggalkan.

Barbarisme Israel
Israel bisa kita kategorikan negara barat, walau domisilinya adalah di timur, karena tingkah polahnya mencerminkan teori Clash of Civilizations-nya Huntington. Aneksasinya terhadap Palestina dapat kita "amini" sebagai sebuah pelestarian terhadap gaya berpikir strukturalis dan dependensi yang seharusnya sudah jauh-jauh dikubur apabila kita mau menjadi warga dunia yang toleran.
Barbarisme sendiri adalah sebuah kondisi dimana keadaan perabadan dalam sebuah masyarakat menurun atau peradaban dalam masyarakat sedang mengalami proses kehancurannya. Tindakan barbar dapat diartikan juga sebagai sebuah tindakan keji, di luar batas-batas kemanusiaan. Dua terminologi ini sebetulnya pas menggambarkan Israel, pertama masyarakat Israel sebenarnya adalah sebuah masyarakat yang peradabannya sedang mengalami kehancuran keduA setelah peristiwa Holocaust. Hal ini disebabkan kecaman terhadap Israel sudah mendunia sehingga Israel terancam kehilangan kedaulatannya sebagai negara, walaupun sejak berdirinya tidak semua negara di dunia mengakui Israel.
Kedua, tindakan Israel menyerang Mavi Marmara yang notabene hanya menjalankan misi kemanusiaan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan barbar, karena hanya bangsa barbarlah yang mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan demi kepentingan pribadi semata. Ditambah lagi, selama ini penderitaan rakyat Palestina terhadap kekejaman yang dilakukan Israel, terutama di Gaza, telah mencapai titik nadir sehingga harus ada tindakan tegas dan berani terhadap Israel.
           
Peran PBB
Menyikapi hal ini PBB sebagai sebuah badan dunia yang netral haruslah dapat bertindak secara tegas dan tentunya netral untuk menghentikan aksi blokade oleh militer Israel ini. Karena membiarkannya hanya akan menggoyang stabilitas Timur Tengah, bahkan kemungkinan juga akan terjadi perang besar apabila tingkah Israel ini merembet ke negara-negara lain yang punya “masalah” dengan Israel, seperti Suriah atau Iran. Turki, yang dulu dianggap sekutu Israel, bahkan sudah menarik duta besarnya dari Israel. Sebuah kehilangan besar bagi Israel, karena Turki dulu diangap sebagai sekutu terdekat Israel di sekitar Timur Tengah.
Apa pun alasannya, Israel telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan yang paling dalam. Karena itu haruslah ada sanksi atau ancaman kepada Israel atas tindakan savage mereka ini. Sudah waktunya dunia memaksa Israel tunduk pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku universal. Sekarang sudah bukan jamannya lagi berselisih hanya karena suku, agama, kelompok, ataupun warna kulit. Marilah kita bersatu untuk mewujudkan sebuah dunia yang mana di dalamnya hanya ada kedamaian. 




0 comments:

Post a Comment

Monday, February 7, 2011

Humanisme vs Barbarisme


Humanisme vs Barbarisme


            Masa depan perdamaian dunia kian menjauh. Berbagai upaya untuk menciptakan perdamaian hancur karena kesombongan, keserakahan, keangkuhan, dan tindakan tak beradab. Dengan dalih melanggar batas perairan internasional, Israel secara membabi-buta mengoyak kapal relawan Mavi Marmara sehingga tergolek lemas tak berdaya, lalu diseret ke Ashdod padahal mereka hanya mengangkut bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina di Gaza. Puluhan nyawa melayang dari kapal itu, semata-mata hanya karena “bertindak sebagai manusia” dengan membawa bantuan untuk warga Gaza yang terdzolimi. Israel yang sepertinya memang bukan bagian dari warga internasional, dengan pongahnya “memamerkan” kehebatan alat-alat perangnya untuk menghentikan kapal relawan, dan seakan tidak peduli akan aturan-aturan internasional manapun. Padahal, canggihnya armada tempur Israel juga adalah hasil “mengemis” pada AS.
            Minggu (6/6) kapal Rachel Corrie, yang namanya diambil dari aktivis asal AS yang mati-matian membela Palestina sehingga akhirnya betul-betul harus merelakan nyawanya diambil Israel tahun 2003 silam, dibajak oleh kapal-kapal perang Israel di perairan internasional untuk kemudian diseret ke Ashdod. Walaupun tidak ada kekerasan dan hilangnya korban jiwa, pembajakan kapal yang mengangkut misi kemanusiaan ke Gaza adalah sebuah tindakan pengecut dan tak berperikemanusiaan. Pemblokadean itu sendiri adalah bukti nyata bahwa Israel sebenarnya takut dengan kekuatan “intifada”, yang sekarang tidak hanya dilakukan rakyat Palestina, tapi juga rakyat dunia menentang kesewenang-wenangan Israel.
Tindakan Israel ini melampaui batas dan tidak bisa dibenarkan secara moral dan tentunya secara hukum. Perilakunya melanggar batas naluri bangsa berperikemanusiaan. Ini adalah sebuah ketidakadilan dan dunia harus bertindak menghentikan kekerasan ini serta juga melawan kekejaman Israel ini yang penulis analogikan sebagai sebuah tindakan savage atau tak beradab. Tidak bisa ada sekelompok manusia dengan alasan apapun membunuhi kelompok manusia lainnya di dunia ini.
Sudah selayaknya agresi Israel ini menyatukan umat manusia di dunia untuk bersama mengecam Israel dan mendukung rakyat Palestina agar bisa terbebas dari tindakan keji Israel ini. Warga dunia harus bersatu mendesak Israel untuk menghentikan blokadenya atas Gaza dan juga Israel harus mempertanggungjawabkan tindakannya terhadap kapal Mavi Marmara di hadapan mahkamah internasional. Tidak ada satu pun persoalan yang dapat diselesaikan dengan cara kekerasan. Setiap kekerasan akan hanya melahirkan penindasan dan penganiayaan.

Humanisme Poskolonialis
            Humanisme secara umum dapat diartikan sebagai istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Edward Said melihat humanisme sebagai sebuah kajian poskolonialisme, yang penulis rasa tepat untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi pada rakyat Palestina. Sederhananya poskolonialisme menurut Said terlihat dari cara pandang dunia barat terhadap dunia timur (kajian orientalisme) yang selama ini selalu dalam upaya penguasaan dan penindasan.
Penguasaan dunia barat terhadap dunia timur terlihat dari cara pandang yang menganggap Timur sebagai "yang lain", baik itu karena bahasa, budaya, tradisi, dan segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Kemudian tidak berhenti sampai situ, dunia Barat menganggap "lainnya" Timur sebagai sesuatu yang bermutu lebih rendah, sehingga perlu dijadikan sama dengan Barat yang "lebih maju". Bahkan, barat merasa dirinya “lebih beradab” daripada timur dengan melupakan local genius tiap-tiap kebudayaan.
            Perspektif humanisme poskolonialis yang dikembangkan Said bisa dijadikan alat untuk membongkar hegemoni dan dominasi paradigma positivis-logis gaya barat dalam membangun sebuah paradigma terhadap dunia timur. Tidak sampai disitu saja, humanisme poskolonialis Said sebenarnya ingin menegaskan bahwa konsep humanis haruslah mampu untuk melihat manusia sebagai manusia. Selama ini, kajian orientalis versi Samuel Huntington menganggap gaya barat yang berbasiskan positivism-logis selalu melihat dunia timur sebagai objek atau kelompok manusia yang berbeda dari konsep manusia yang tertanam dalam pikiran mereka. Gelombang pemikiran ini telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap timur, terutama dunia Islam. Caranya ialah dengan mengungkapkan kemunduran pola pikir dunia Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur dengan Barat.
Said ingin menegaskan warga negara dunia oriental adalah subjek pengetahuan juga, mereka adalah manusia yang sama memiliki rasio, sehingga oposisi biner gaya strukturalism dan perspektif ketergantungan karya pemikir-pemikir macam Raul Prebisch dan Paul Baran, yang menyatu dengan positivism-logis sudah selayaknya ditinggalkan.

Barbarisme Israel
Israel bisa kita kategorikan negara barat, walau domisilinya adalah di timur, karena tingkah polahnya mencerminkan teori Clash of Civilizations-nya Huntington. Aneksasinya terhadap Palestina dapat kita "amini" sebagai sebuah pelestarian terhadap gaya berpikir strukturalis dan dependensi yang seharusnya sudah jauh-jauh dikubur apabila kita mau menjadi warga dunia yang toleran.
Barbarisme sendiri adalah sebuah kondisi dimana keadaan perabadan dalam sebuah masyarakat menurun atau peradaban dalam masyarakat sedang mengalami proses kehancurannya. Tindakan barbar dapat diartikan juga sebagai sebuah tindakan keji, di luar batas-batas kemanusiaan. Dua terminologi ini sebetulnya pas menggambarkan Israel, pertama masyarakat Israel sebenarnya adalah sebuah masyarakat yang peradabannya sedang mengalami kehancuran keduA setelah peristiwa Holocaust. Hal ini disebabkan kecaman terhadap Israel sudah mendunia sehingga Israel terancam kehilangan kedaulatannya sebagai negara, walaupun sejak berdirinya tidak semua negara di dunia mengakui Israel.
Kedua, tindakan Israel menyerang Mavi Marmara yang notabene hanya menjalankan misi kemanusiaan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan barbar, karena hanya bangsa barbarlah yang mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan demi kepentingan pribadi semata. Ditambah lagi, selama ini penderitaan rakyat Palestina terhadap kekejaman yang dilakukan Israel, terutama di Gaza, telah mencapai titik nadir sehingga harus ada tindakan tegas dan berani terhadap Israel.
           
Peran PBB
Menyikapi hal ini PBB sebagai sebuah badan dunia yang netral haruslah dapat bertindak secara tegas dan tentunya netral untuk menghentikan aksi blokade oleh militer Israel ini. Karena membiarkannya hanya akan menggoyang stabilitas Timur Tengah, bahkan kemungkinan juga akan terjadi perang besar apabila tingkah Israel ini merembet ke negara-negara lain yang punya “masalah” dengan Israel, seperti Suriah atau Iran. Turki, yang dulu dianggap sekutu Israel, bahkan sudah menarik duta besarnya dari Israel. Sebuah kehilangan besar bagi Israel, karena Turki dulu diangap sebagai sekutu terdekat Israel di sekitar Timur Tengah.
Apa pun alasannya, Israel telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan yang paling dalam. Karena itu haruslah ada sanksi atau ancaman kepada Israel atas tindakan savage mereka ini. Sudah waktunya dunia memaksa Israel tunduk pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku universal. Sekarang sudah bukan jamannya lagi berselisih hanya karena suku, agama, kelompok, ataupun warna kulit. Marilah kita bersatu untuk mewujudkan sebuah dunia yang mana di dalamnya hanya ada kedamaian. 




No comments:

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space