Sunday, April 17, 2011

Feminisme Kartini


Feminisme Kartini

Setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada hari itu tahun 1879, telah lahir seorang pahlawan bagi kaum yang dalam perkembangan jaman, dimana pun di seluruh dunia, sering dinomorduakan. Dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemrintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarki dan berada dibawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern itu? Tapi, itulah Kartini. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
Kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Apabila dikatakan Kartini terpengaruh feminisme, saya cenderung sependapat. Tapi apakah Kartini sepenuhnya mengadopsi konsep feminisme an sich? Kita akan lihat berikut ini. 

Feminisme di Indonesia
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun diluar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereo tipe, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Feminisme Kartini sendiri adalah sebuah sintesis dari patriarki dan feminisme barat, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk oposisi terhadap budaya dan otoritas politik (sebelum ada negara ketika itu) yang melakukan penindasan secara sistematis kepada kaum perempuan. Feminisme Kartini penekanannya ada pada budaya “breakthrough” yang diperjuangkan beliau pada sebuah era dimana budaya patriarki dilegalkan baik oleh budaya (Jawa), maupun otoritas politik (pemerintahan Hindia Belanda). Ia bergerak secara komunal, diawali oleh kapasitas individu, bukan karena sifatnya yang feodal, tetapi karena perlunya pemahaman kolektif untuk mendobrak sebuah rezim yang diskriminatif.
Feminisme Kartini juga lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Pada masa itu tuntutan tersebut khususnya pada masyarakat Jawa adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan juga. Kartini, yang semasa hidupnya dibesarkan oleh kebiasaan-kebiasaan feodalis karena berasal dari kalangan priyayi dan berayahkan seorang Bupati, sudah memiliki courage untuk stand up melawan budayanya sendiri, bahkan jamannya.
Tetapi, banyak yang tidak memperhatikan bahwa karena budaya partiarki itulah sebenarnya Kartini dapat menjadi seorang Kartini yang kita kenal sekarang sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Hal ini karena ia berasal dari keluarga priyayi, maka kehidupan Kartini sebetulnya bisa dibilang baik. Ia tidak mengalami kesulitan seperti banyak perempuan lain yang pada masa itu masih terjerat kemiskinan dan kebodohan. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda itulah ia mulai membaca dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, terutama Belanda.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Bahkan, dalam Sebuah buku kumpulan suratnya kepada Stella Zeehandelaar berjudul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme, Kartini banyak bicara masalah yang dewasa ini menjadi perbincangan kita semua, yaitu masalah sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Ini inti dari Feminisme Kartini yang tidak terfokus pada perempuan saja.

Salah Tafsir Feminisme
Cukup banyak kesalahan dalam memaknai feminisme, dan hal itu juga terjadi di Indonesia. Wardah Hafiz melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan "tukang bakar BH", "anti lelaki", "perusak keluarga", "tidak mau punya anak" dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan feminisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodalis, dan pastinya patriarkis.
Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah di atas sebagai kekeliruan memaknai feminisme.
            Sebagai contoh saja, bila kekeliruan memaknai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Hal ini ditenggarai semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengatasnamakan perempuan-perempuan kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai "ayam kampus" sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas. Fenomena ini adalah pemerkosaan alami terhadap perjuangan Kartini. Emansipasi yang dimaksud bukan tafsiran ala liberalis yang menghalalkan manifestasi bebas sebebas-bebasnya, tapi sebuah sikap hidup yang komplementatif sebagai bagian dari masyarakat.

Quo Vadis Gerakan Feminisme
Sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Hal ini yang secara substansif diperjuangkan oleh Kartini, walaupun mungkin masih dengan bahasa dan konteks yang berbeda ketika itu. Tetapi permasalahan yang justru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan perempuan, akan tetapi perempuan an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya?
Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas perempuan yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki. Tidak ada yang salah dengan hal ini, hanya saja konsep kesetaraan gender tidak bermain disini. Yang bermain adalah superioritas individu sebuah gender tertentu. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana pria-perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogianya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi secara equal.
Sensitivitas gender dan altruisme merupakan strategi yang jelas dalam upaya peningkatan citra dan status perempuan. Namun yang perlu disadari oleh perempuan khususnya, bagaimana bisa mengadopsi seoptimal mungkin segala potensi serta terlepas dari kendala struktural, nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriakhi. Sementara mayoritas perempuan yang lain, justru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari "penjara" rumah tangga untuk bersikap lebih "jantan".
Dengan kata lain, tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, feminisme ala Kartini menjadi efektif karena ia muncul dari semangat komunal untuk mendobrak sebuah sistematisasi yang bergerak secara diskriminatif. Bukan dari nafsu individu untuk memperoleh penghargaan hanya dari modal “kebebasannya”. Selamat berjuang Kartini-Kartini muda!


2 comments:

Anonymous said...

terbukti salah tafsir terhadap feminis, saya dikira radikal atau menyimpang dari agama .

jerry_indrawan18 said...

sapa yg gitu? masa sih?

Post a Comment

Sunday, April 17, 2011

Feminisme Kartini


Feminisme Kartini

Setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada hari itu tahun 1879, telah lahir seorang pahlawan bagi kaum yang dalam perkembangan jaman, dimana pun di seluruh dunia, sering dinomorduakan. Dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemrintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarki dan berada dibawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern itu? Tapi, itulah Kartini. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.
Kebanyakan definisi-definisi feminisme berpusat pada tuntutan kesetaraan jenis kelamin. Akan tetapi, definisi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kekayaan dan luasnya pemikiran feminis. Isu-isu kesetaraan dan persamaan hak bukanlah merupakan satu-satunya perhatian feminisme. Istilah feminisme juga sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Di Indonesia, sejarah perjuangan kaum feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Apabila dikatakan Kartini terpengaruh feminisme, saya cenderung sependapat. Tapi apakah Kartini sepenuhnya mengadopsi konsep feminisme an sich? Kita akan lihat berikut ini. 

Feminisme di Indonesia
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun diluar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum laki-laki saja- karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereo tipe, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Feminisme Kartini sendiri adalah sebuah sintesis dari patriarki dan feminisme barat, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk oposisi terhadap budaya dan otoritas politik (sebelum ada negara ketika itu) yang melakukan penindasan secara sistematis kepada kaum perempuan. Feminisme Kartini penekanannya ada pada budaya “breakthrough” yang diperjuangkan beliau pada sebuah era dimana budaya patriarki dilegalkan baik oleh budaya (Jawa), maupun otoritas politik (pemerintahan Hindia Belanda). Ia bergerak secara komunal, diawali oleh kapasitas individu, bukan karena sifatnya yang feodal, tetapi karena perlunya pemahaman kolektif untuk mendobrak sebuah rezim yang diskriminatif.
Feminisme Kartini juga lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Pada masa itu tuntutan tersebut khususnya pada masyarakat Jawa adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan juga. Kartini, yang semasa hidupnya dibesarkan oleh kebiasaan-kebiasaan feodalis karena berasal dari kalangan priyayi dan berayahkan seorang Bupati, sudah memiliki courage untuk stand up melawan budayanya sendiri, bahkan jamannya.
Tetapi, banyak yang tidak memperhatikan bahwa karena budaya partiarki itulah sebenarnya Kartini dapat menjadi seorang Kartini yang kita kenal sekarang sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Hal ini karena ia berasal dari keluarga priyayi, maka kehidupan Kartini sebetulnya bisa dibilang baik. Ia tidak mengalami kesulitan seperti banyak perempuan lain yang pada masa itu masih terjerat kemiskinan dan kebodohan. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda itulah ia mulai membaca dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, terutama Belanda.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Bahkan, dalam Sebuah buku kumpulan suratnya kepada Stella Zeehandelaar berjudul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme, Kartini banyak bicara masalah yang dewasa ini menjadi perbincangan kita semua, yaitu masalah sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Ini inti dari Feminisme Kartini yang tidak terfokus pada perempuan saja.

Salah Tafsir Feminisme
Cukup banyak kesalahan dalam memaknai feminisme, dan hal itu juga terjadi di Indonesia. Wardah Hafiz melihat ada sejumlah kekeliruan tafsir terkait feminisme itu sendiri. Menurutnya, banyak orang yang tidak sepenuhnya memahami apa feminisme itu. Ada semacam tuduhan yang salah kaprah tentang feminisme yang dideskreditkan sebagai gerakan para perempuan "tukang bakar BH", "anti lelaki", "perusak keluarga", "tidak mau punya anak" dan sejenisnya. Sejatinya, tegas Wardah, feminisme pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai budaya tandingan (counter culture). Hal ini karena gerakan feminisme memiliki kecenderungan perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat yang feodalis, dan pastinya patriarkis.
Menilik pada fenomena globalisasi pasar informasi dan komunikasi dengan berbaurnya berbagai komodifikasi gaya hidup anak muda perkotaan dalam atribut-atribut hedonisme, konsumerisme dan seks bebas, yang telah difasilitasi kapitalisme sedemikian rupa, merupakan salah satu fenomena sentral yang menggambarkan apa yang ditegaskan Wardah di atas sebagai kekeliruan memaknai feminisme.
            Sebagai contoh saja, bila kekeliruan memaknai feminisme dialamatkan pada mahasiswi-mahasiswi di perkotaan, hampir setali tiga mata uang alias sama saja. Hal ini ditenggarai semakin mempopulerkan pandangan bahwa isu-isu miring yang mengatasnamakan perempuan-perempuan kampus sangat santer terdengar. Dari yang berprofesi sebagai "ayam kampus" sampai beredarnya sejumlah VCD khas erotisme mahasiswa merupakan rahasia umum di lingkungan akademis dan masyarakat luas. Fenomena ini adalah pemerkosaan alami terhadap perjuangan Kartini. Emansipasi yang dimaksud bukan tafsiran ala liberalis yang menghalalkan manifestasi bebas sebebas-bebasnya, tapi sebuah sikap hidup yang komplementatif sebagai bagian dari masyarakat.

Quo Vadis Gerakan Feminisme
Sudah saatnya perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan (woman in development), akan tetapi berkedudukan sebagai subjek pembangunan (woman and development). Hal ini yang secara substansif diperjuangkan oleh Kartini, walaupun mungkin masih dengan bahasa dan konteks yang berbeda ketika itu. Tetapi permasalahan yang justru muncul bukan terletak pada sikap apologi dan permisif pria terhadap keterlibatan perempuan, akan tetapi perempuan an sich. Apakah kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan hasrat untuk memperbaiki citranya yang selama ini dianggap sebatas teman di ranjang, pelipur stress pria, ibu yang mengurusi anak-anaknya, telah benar-benar dilakukan perempuan untuk memperoleh kesetaraannya?
Bukan tidak mungkin, upaya-upaya gerakan feminisme yang selama ini masih menjadi perbincangan hangat di semua kalangan hanya cerita dan citra eksklusif para perempuan yang sudah "tercerahkan" dari kehidupan rumah tangga saja. Eksklusif artinya, untuk menunjukkan sejumlah minoritas perempuan yang benar-benar getol mempromosikan dirinya sebagai orang yang kuat secara kognitif-psikologis dan punya pengaruh besar dalam rimba laki-laki. Tidak ada yang salah dengan hal ini, hanya saja konsep kesetaraan gender tidak bermain disini. Yang bermain adalah superioritas individu sebuah gender tertentu. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana pria-perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogianya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi secara equal.
Sensitivitas gender dan altruisme merupakan strategi yang jelas dalam upaya peningkatan citra dan status perempuan. Namun yang perlu disadari oleh perempuan khususnya, bagaimana bisa mengadopsi seoptimal mungkin segala potensi serta terlepas dari kendala struktural, nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriakhi. Sementara mayoritas perempuan yang lain, justru memahami feminisme bukan lagi pada persoalan bahwa mereka tidak sanggup keluar dari "penjara" rumah tangga untuk bersikap lebih "jantan".
Dengan kata lain, tanpa harus mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme menjadi sebuah keharusan yang niscaya bagi sebuah peradaban bangsa, feminisme ala Kartini menjadi efektif karena ia muncul dari semangat komunal untuk mendobrak sebuah sistematisasi yang bergerak secara diskriminatif. Bukan dari nafsu individu untuk memperoleh penghargaan hanya dari modal “kebebasannya”. Selamat berjuang Kartini-Kartini muda!


2 comments:

  1. terbukti salah tafsir terhadap feminis, saya dikira radikal atau menyimpang dari agama .

    ReplyDelete

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space